SUNYI DI SUDUT HATI
By : Ryunee Samaya
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Kulirik laki-laki berumur hampir tiga puluh lima tahun di sampingku yang sibuk dengan kemudi. Matanya awas melihat ke depan sampai dia tak sadar kalau aku terus memperhatikannya. Ku pandang lagi wajahnya. Wajahnya duplikat Mas Beni. Alis yang hampir bertaut satu sama lain dan hidung mancung sempurna menambah rupawan raganya.
Dia, laki-laki yang telah menemani hidupku selama ini. Dia sumber kekuatanku. Rasanya tak sanggup melewati semua tanpa dirinya. Masih kuingat saat saat indah bersamanya. Senyum dan tawanya membuatku sanggup berjuang menghadapi hidup yang ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Netra ini menatap jalan di depan yang kulalui bersamanya. Pikiranku melayang pada masa laluku. Saat aku berjuang untuk menggurat senyum di wajahnya sejak kepergian mas Beni.
Masih kuingat, mas Beni meninggalkan aku dan dia saat laki-laki di sampingku ini baru belajar berjalan. Sejak saat itu, aku berjuang sendiri demi mengukir senyum bahagia di bibirnya. Perjuanganku berhasil. Tangan kasar dan kaki pincangku karena tertabrak sepeda motor saat mengais rezeki, telah membawa pangeranku meraih gelar kesarjanaannya.
Saat itu masih kuingat dengan bangganya ia bercerita kalau beasiswa S2 telah didapatnya. Senang sekaligus sedih hinggap di hatiku. Senang karena pencapaiannya namun hati terasa perih mengingat aku akan berpisah dengannya. Ia akan melanjutkan kuliah di sebuah negeri dengan kincir angin sebagai ikonnya. Hampir empat tahun lamanya kami berpisah. Tak pernah lupa aku selalu menyebut namanya di sujud panjangku di sepertiga malam. Berharap secepatnya kami berkumpul kembali.
Tiba saat kepulangannya. Tak bisa kuungkapkan kebahagiaanku saat itu. Laki-laki itu telah bermetamorfosa menjadi laki-laki dewasa yang semakin mirip dengan mas Beni. Dengan bangga ia menceritakan padaku kalau ia sudah diterima di perusahaan besar di ibu kota dan kebahagianku bertambah saat ia mengenalkan seorang wanita cantik dan berpendidikan yang ia kenal saat menimba ilmu di negeri kincir angin.
Sejak kepulangannya kami hidup bersama. Tak lagi berdua tapi bertambah satu orang yang ia sebut sebagai istri. Namun ada yang berbeda, hubungan kami yang dulu hangat berubah dingin. Pangeranku seperti orang asing yang tak kukenal lagi. Waktunya hanya habis untuk pekerjaan tanpa meluangkan waktu sedikit pun untuk sekedar mengajakku berbicara, seperti yang biasa kami lakukan dulu. Sang istri pun tak jauh berbeda. Aku merasa sepi di rumah besar ini.
Dan hari ini, begitu bahagianya saat pangeranku mengajak diri ini berjalan berdua. Aku tak bertanya kemana kami pergi dan ia pun tak menjelaskan. Tapi tak apa, yang penting aku bisa bersama dengannya.
Mobil berhenti di sebuah rumah bercat putih tulang. Ia membukakan pintu mobil untukku Membimbingku yang tak bisa berjalan sempurna lagi di umurku yang ke enam puluh tiga tahun. Seorang wanita mengantarkan kami menuju salah satu ruangan di rumah ini. Di kamar ke tiga kami berhenti. Ia membantuku duduk di ranjang berseprei putih seperti yang sering kulihat di rumah sakit.
Pangeranku mencium punggung tanganku yang sudah keriput lalu meninggalkan ruangan ini. Berapa jam aku menunggu, pangeranku tak juga kembali. Namun aku tetap menunggu di kamar ini, yang di sepreinya tersulam rapi tulisan, KASIH BUNDA NURSING HOME.