Pengkhianat.
Begitulah mereka memanggilku. Aku tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Aku juga tidak peduli. Hidupku bahagia meski menyandang gelar yang buruk. Gelar untuk seseorang yang mengambil suami sahabatnya sendiri.
Tapi, hei, aku melakukannya bukan tanpa alasan.
Perasaan ini, aku hanya terlambat menyadarinya.
Dan ketika semuanya menjadi jelas, dia sudah menikah dengan sahabatku.
Aku menyesal. Aku kesal.
Sahabatku mencuri start dariku.
Jadi kuputuskan untuk merebut hal yang seharusnya menjadi milikku. Tentu, kulakukan dengan halus. Sehingga ketika sahabatku sadar, semuanya sudah terjadi.
Jangan salahkan aku, aku tidak salah.
Karena aku tahu. Rasa yang kutanggung ini lebih besar darinya. Jantung yang berdegup kencang. Rasa rindu yang meluap saat tidak bertemu dirinya. Juga rasa iri ketika melihat dia bercengkrama dengan wanita selain diriku.
Jantung tidak mungkin berbohong.
Semua perasaan ini asli.
Tapi… akhir-akhir ini, aku dibuat ragu.
Benarkah rasa yang kumiliki lebih besar darinya?
“Sayang.”
Aku menoleh, laki-laki itu, suamiku, berdiri di dekat pintu. Dia tersenyum padaku. Berjalan mendekat ke arah ranjang. Duduk di kursi yang tersedia, memelukku lembut.
“Bagaimana kondisi jantungmu? Sudah lebih baik?”
Tidak menjawab. Aku membalas pelukannya, mengangguk pelan.
“Syukurlah, ada orang baik yang rela mendonorkan jantungnya.” Nada suaranya terdengar senang. “Kamu bahagia, sayang?”
Menolak untuk menjawab. Aku mengeratkan pelukan. Tidak ada senyum di wajah. Hanya jantung yang berdetak lebih keras. Lebih kencang. Menggebu lebih cepat. Seakan-akan bisa meledak kapan saja.
Membuang napas, aku mencibir pelan.
“Terimakasih hadiahnya.”
Sekarang kau membuatku bingung.