Perlahan, aku membuka mata. Pening berat langsung menyerang. Kusipitkan mata saat cahaya mulai tertangkap retina. Aku menangkis cahaya itu dengan tangan kiri lalu menoleh ke sisi kananku.
Kevin tertidur di sisi ranjang dengan posisi duduk. Ia tersadar lalu segera tersenyum saat melihatku bangun.
“Puji Tuhan, kamu sudah sadar,” katanya.
“Kevin, bantu aku bangun. Aku mau ke toilet.”
“…”
Kugerakkan kedua kakiku bergeser ke tepi ranjang. Aku mengernyitkan dahi saat menyadari sesuatu. Ada yang aneh dengan kaki kiriku.
Kutarik selimut yang menutupinya.
Napasku tercekat. Pandanganku mulai kabur oleh air mata.
Ke mana kaki kiriku? Mengapa hanya tinggal lutut?!
“Nia…,”
Air mataku jatuh begitu saja. Aku kembali terlempar dengan kejadian terakhir yang kuingat. Hujan deras membuat motorku tergelincir. Dan saat setengah sadar, sebuah truk melindas… kakiku.
“Nggak! Nggak mungkin!” teriakku sambil menjambak rambut. Frustrasi.
Kevin segera merengkuhku. “Nia, tenangkan dirimu.”
“Gimana aku bisa tenang? Aku udah nggak punya kaki!”
“Aku yang akan jadi kaki kamu.”