Aku mengenalnya dari Facebook. Yah, tidak bisa dipungkiri, jejaring sosial lumayan membantuku mencari pacar di usia yang mendekati tiga puluh.
Sepanjang hari aku terus menebar senyum terbaik. Apalagi saat akhirnya kami bertemu di restoran elit ini. Dia sosok yang tampan dan terlihat mapan.
“Saya pesan steak sapi, kentang goreng, lalu...”
Aku menganga.
“Maaf ya, saya memang hobi makan. Lagipula, biar sekalian kamu bisa nyicip juga. Tenang saja, saya yang traktir kok,” katanya sambil menyengir manis.
Aku mengangguk.
Tak lama pesanan kami – atau tepatnya dia – datang. Mataku melebar saat melihat hampir sepuluh menu tersaji di meja.
Dan aku benar-benar ilfeel saat melihat pria itu makan dengan lahapnya. Seperti belum makan selama tiga hari.
“Makanan di sini benar-benar enak!” serunya sambil terus memasukkan potongan daging ke mulutnya.
“Ya,” jawabku singkat. Sungguh telah hilang selera makan.
Gila! Ganteng-ganteng gini rakus! Batinku.
“Oh ya, saya ke toilet sebentar ya,” pamitnya saat telah menandaskan seluruh makanan itu.
Lima menit... sepuluh menit... tiga puluh menit…
Dia tidak kembali. Kuhubungi ponselnya, tidak aktif. Kuminta waiter mengecek toilet pria, katanya tidak ada siapa pun di sana.
“Maaf Mbak, ini bill-nya,” kata sang waiter ramah.
Sial!