Sudah sering Miska menjadikan pangkalan itu tempat santap siang juga malamnya. Berbeda dengan kebanyakan rekan sejawatnya, yang lebih memilih kantin kantor atau warung sekitar kantor yang ruangannya lebih luas.
Transaksi pertama pun Miska lakoni seorang diri. Hingga keakrabannya dengan si tukang bakso membuat mereka saling memberi tahu nomor telepon.
Namun dalam seminggu ini, ada resah yang menggantung di lubuk hati si penjual bakso. Sebuah komputer tablet milik Miska, diduga hilang dalam pangkalannya, walau Miska tak menuduhnya apalagi sampai melapor ke polisi.
***
Cepat ke sini! kata si penjual bakso.
Seorang gadis berbusana putih-putih melangkah terburu-buru melewati koridor demi koridor kantornya. Ia memperlambat langkahnya, ketika matanya sudah melihat gerobak si penjual bakso dari balik gerbang rumah sakit.
Saya bakwan saja. Empat, kata Miska begitu tiba di pangkalan.
Miska mengambil tempat di bangku pembeli; berdampingan dengan seorang ibu setengah baya yang sedang asyik menyantap semangkuk bakso.
Mari makan, Bu! ucap Miska sebelum bakwan pertama menyentuh bibirnya.
Ya, silakan, kata si ibu setengah baya.
Menjenguk ya, Bu?
Iya. Kerja di Rumah Sakit ini ya, dek?
Ya, baru dua bulan. Keluarganya sakit apa, Bu?
Seraut kemenangan terpatri di dada Miska setelah mengetahui letak kamar yang dibesuk si ibu. Dan berharap semoga si pasien cepat sembuh.
***
Yakin itu orangnya? tanya Miska, saat mereka tinggal berdua.
Iya. Saya ingat betul mukanya. Pas, saat kamu keluar itu hari, dia masuk. Mulanya dia bilang mau makan di sini, tapi dia lalu batalkan. Katanya ada telpon mendadak, urusan penting. Hanya anaknya yang dipesankannya satu tusuk nyuknyang, tutur si tukang bakso.
Si ibu setengah baya jadi tersangka sementara.
Saya ingat betul dia tergesa-gesa mengajak anaknya lalu naik angkot di sana, ujar si abang tukang bakso, seraya menunjuk trotoar di dekat situ.
Si penjual memang tidak melihat ibu itu atau anaknya memegang komputer tablet. Tapi ia juga baru tahu bahwa komputer tablet Miska ketinggalan saat Miska kembali ke lapaknya. Namun saat itu—sejak Miska datang dan kembali mencari komputer tabletnya—yang sempat berada di pangkalan itu cuma ada empat orang: Si penjual, Miska, si ibu dan anaknya. ***
Raga berusia sekitar lima puluhan tahun itu menjadi pembicaraan serius mereka hingga seorang pembeli harus dilayani dan si suster manis bergegas balik ke kantor. Dan sejak itu, Miska selalu melewati kamar opname tempat keluarga si ibu dirawat, meski tak pernah ia melihat dan mendengar tentang komputer tabletnya.
***
Telepon selular Miska berbunyi.
Cepat ke sini! suara si tukang bakso terdengar di bilik sana. Miska segera memesan angkutan daring.
Ini punyamu. Si tersangka tadi yang kasih. Ia minta maaf. Katanya ia mau jual untuk biaya pengobatan, tapi tidak jadi, kata si tukang bakso, seraya menyerahkan sebuah komputer tablet.
"Sekarang mereka masih di dalam? tanya Miska.
Sudah keluar barusan, waktu saya tadi nelpon kamu mereka sedang naik ambulance. Keluarganya dirujuk ke rumah sakit Jakarta.
Si tukang bakso selesai berkemas. Ia menekan stop-kontak. Kini, pangkalan itu bercahaya remang bulan serta rona dari lampu-lampu rumah sakit dan merkuri di sekitarnya. Angin malam berhembus. Dingin.***