Rasa kecewa ini tak tertahan lagi. Apa yang kurasa, pula apa yang kupikir sebelumnya, kuanggap saja tidak pernah terjadi. Aku benar-benar menyesal. Tak lagi hanya sekedar kesal.
“Halo! Ada apa, Dek?”
Itu suara Mbak Anya dari ujung sana.
“Aku nyesel, Mbak, nikah!”
“Lho, lho! Cah edan! Ada apa?”
“Mas Indra egois, Mbak.”
“Egois gimana? Perasaan kemarin bilangnya Indra itu pengertian. Apa-apa kamu, apa-apa kamu. Iya, kan?”
“Iya. Kemarin. Sekarang nggak lagi!”
“Kenapa sih, Yul?”
“Masa’ dia diajak tinggal sama ayah nggak mau. Sama aja ngajarin durhaka, kan?”
Hening.
“Mbak Anya! Egois kan itu namanya?”
“Yul, kamu nikah kan dengan pilihanmu sendiri. Nggak ada yang maksa kamu. Kurang-lebihnya ya kamu harus bisa terima. Tiap apapun, selalu kamu. Masa’ baru beda pendapat sekali aja kamu marah? Kok mbak ngerasanya kamu yang egois ya, Yul. Soal ayah, kan masih ada kami. Nah, ibunya Indra? Gimana? Jangan begitulah, Yul!”
Aku diam. Kumatikan ponsel secara sepihak. Kekecewaanku kian memuncak. Bukan pada suamiku, apalagi Mbak Anya. Tapi pada diriku sendiri!
Aku pun bangkit menuju dapur untuk menyeduh dua gelas kopi. Mas Indra selalu berkata kalau kopi buatanku enak. Pas. Saat kopi hampir siap, Mas Indra muncul dengan seplastik gorengan. Kami bersitatap sejenak. Canggung. Lalu bersamaan tersenyum. Ada kelegaan menelusup ke relung-relung yang terkungkung.
Aku rasa, kopi dan gorengan memang berjodoh.