Aera, anakku. Dia menanti ASI-ku sepanjang malam. Kulihat wajahnya yang polos tiap kali merengek. Entah apa yang dia lihat.
Setelah dia tidur aku memutar badanku. Memalingkan diri dari hadapan wajah manisnya. Kini telah menyamping suamiku.
Seperti biasanya, dia menanti "giliran". Cinta kedua setelah Ayahku ini menunggu dengan wajah dinginnya.
Tanpa basa-basi dia menyusu di payudaraku. Setiap kata keluar dari mulut manisnya, sangat lembut.
"Jangan tinggalkan aku," pintanya.
Aku elus kembali rambut itu, setiap jengkalnya adalah milikku. Sesekali aku menatap foto pengantin kami berdua.
"Aku juga mencintaimu," ucapku sambil berbisik.
Namun air mata ini jatuh sesekali. Tak melihat ada gairah dalam diriku. Tapi aku begitu mencintainya. Dia melepas bibirnya. Lalu menatap tajam menjelajahi seluruh wajah ini.
"Aku tak akan pergi"
Dia mengatakan itu. Lalu aku membekapnya. Untuk kesekian kalinya kukatakan, "Kamu harus pergi, Sayang".
Pelukannya semakin dingin dan hangat. Tak pantas wanita sepertiku mendapatkan siksaan semacam ini.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Aku tahu kamu sudah mati, Sayang," jawabku lirih.
Perlahan raga itu mendebu dalam gelapnya malam. Ia hilang bagai pasir yang tertiup angin. Kini dia telah pergi. Kembali kulihat anakku.
"Itu Ayah, Nak. Jangan menangis lagi, ya."