Kurang lebih tujuh jam sepuluh menit lamanya perjalanan udara dari Bandara Juanda, Rangga tiba di King Ford Smith Airport, Sidney, Australia.
Dari Sydney, Rangga melanjutkan perjalanan ke kota Melbourne dengan menumpang pesawat terbang. Kurang lebih satu jam tiga puluh menit Rangga sampai di Tullamarine Airport, Melbourne.
Udara dingin yang menusuk tulang sangat terasa, menyambut kedatangannya di kota Melbourne. Setelah sesaat menunggu di lobi, datanglah seorang gadis menghampiri Rangga.
Beberapa saat Rangga tidak dapat berkata-kata sepatah katapun, yang dapat dia lakukan hanyalah menatap wajah gadis itu, yang semakin tambah membuat hatinya berdebar.
Gumamnya dalam hati, "Shirley, tidak ada yang banyak berubah dari penampilanmu seperti waktu pertama kali aku bertemu denganmu. Kamu semakin cantik saja."
Setelah sekitar hampir dua jam mereka ngobrol kesana kemari mengenai masalah yang umum, Shirley mengajak Rangga berkeliling kota Melbourne.
Hari itu, Shirley membantu mengurus semua kelengkapan administrasi studi Rangga. Selama dua tahun Rangga akan tinggal di Apartemen Mantra on Russel .
Malam semakin merangkak, keheningan semakin terasa apalagi udara dingin yang menghujam sampai ke persendian tubuh. Kota Melbourne di awal bulan November merupakan awal musim semi. Cuaca berkisar 9-20 derajat Celcius.
Shirly sangat senang dapat menemani Rangga selama di Melbourne, seolah dia tak ingin lagi jauh darinya.
Menjelang senja, dengan suasana yang cukup romantis, ingin rasanya Shirly berbagi perasaan dengan pemuda itu, tapi dia tak kuasa untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Baginya, senja itu adalah waktu yang tidak akan terlupakan olehnya, kenangan indah bersamanya.
Bersama sosok pemuda yang dia idolakan sewaktu masih menjadi mahasiswi di Universitas Negeri Malang.
Lagi-lagi Shirly menjadikan Rangga sebagai alasannya, lagi, untuk kedua kalinya…
Regret nothings, fear less, then just do it!
Dia gumamkan kata itu berulang kali. Dia tanamkan jauh dalam pusat hatinya. Harus dia pastikan bahwa kata itu benar-benar tertancap, sebelum semua tentangnya terlalu jauh,
It’s not about fear, it’s about love, about heart.
Rupanya sisi lain dirinya menolak pendapat sebelumnya. Detik ini kebimbangan berdesir dalam dadanya. Saat ini tatapannya melekat kuat pada wajah pemuda di hadapannya. Tiga tahun bukan lagi waktu yang singkat untuk memendam beban seberat ini. Ingin sekali dia cari tahu apa yang mesti dia ketahui yang selama ini selalu saja samar.
Sebenarnya sejauh mana dirinya padanya, sedekat apa seharusnya mereka berdua. Karena itu, karena semua itu, ingin sekali ia hadapkan dirinya dan Rangga dalam empat mata, dan akan ia tanyakan berentet, beribu, dan berjubel pertanyaan tentang mereka, tentang yang seharusnya terjadi. Bukan yang dia inginkan terjadi atau imajinasinya yang selalu memaksa untuk mewujudkannya.
Nampaknya sisi otaknya yang lain membuatnya kembali tenggelam dalam ragu. Dia tatap Rangga, entah apa alasannya kenapa pemuda itu menempati tempat spesial di jantungnya, teristimewa di paru-parunya dan memiliki seluruh jiwanya.
Matanya terlalu dalam untuk diselami, senyumnya terlalu rumit untuk dimengerti. Begitu tulus, namun maknanya belum tertangkap olehnya. Selalu saja memberinya misteri tersendiri. Entah. Shirly merasa nyaman seperti ini, menatapnya.
Belum juga ia temukan sesuatu itu, yang dapat memantapkan hatinya. Bukan lagi Rangga yang ia tatap, melainkan sang rembulan di langit malam. Dia putuskan untuk menemukan jawabannya malam itu, tentang perasaannya pada Rangga.