Jakarta, 2021
“CHIKO MAIN YUKK?!!”
Di depan pintu rumah itu, seorang gadis kecil bernama Candice, blasteran Indo-Eropa yang keluarganya baru pindah ke dekat rumah Chiko berdiri sambil menahan beban ransel besarnya. Ada berbagai macam mainan dalam ransel gadis berpipi merah itu, seperti monopoli, ular tangga, puzzle kayu, boneka, sampai rumah-rumahan lengkap dengan alat masak plastiknya. Karena tak ada anak sebaya lain di sekitar sana, maka hampir setiap hari Candice datang ke rumah Chiko, berharap agar ia mau main bersamanya.
Namun bagi Chiko, kedatangan Candice adalah sebuah musibah, karena sebagai anak lelaki, ia merasa malu jika bermain dengan anak perempuan karena pasti akan ditertawakan oleh anak lelaki lain. Maka setiap Candice memanggil namanya di depan pintu, Chiko akan langsung bersembunyi di kamarnya, menghilangkan keberadaan.
“Chiko, itu ada Candice ngajak main di depan rumah,” tanya sang ibu sambil membawa baju jemuran.
“Bilangin aku gak ada!” ucap Chiko.
Sang ibu pun terpaksa berbohong walau ia merasa tak enak hati kepada Candice. Dengan wajah yang sedih, Candice pun pergi sambil menggendong tas besarnya.
Dari jendela kamar Chiko dapat melihat Candice yang berjalan murung ke rumahnya, saat Candice mendapati Chiko sedang mengintipnya, Chiko pun langsung menutup gorden jendela.
Gawat!
Lalu Candice berlari dan mengetuk jendela kamar Chiko.
“CHIKOO! MAIN YUKK?! CHIKOO! CHIKOO!”
Chiko hanya diam sampai Candice menyerah dan pergi.
Keesokan harinya, dan berhari-hari kemudian, Candice masih sering mengajak Chiko bermain dan Chiko selalu berpura-pura tak ada di rumah.
Sampai suatu hari tak terdengar suara cerewet Candice, Chiko mengintip dari celah gorden dan ia melihat Candice sedang duduk di ayunan depan rumahnya seorang diri. Jika sedang diam Candice tampak cantik, pikir Chiko.
Lalu berhari-hari kemudian Candice tak lagi datang ke rumah Chiko. Karena penasaran ia pun bertanya pada sang ibu yang berkata jika Candice sedang sakit.
Chiko memikirkan Candice dan keinginannya untuk bermain bersamanya, maka Chiko pun memberanikan diri untuk pergi ke rumah Candice.
Di rumahnya, Candice kegirangan karena akhirnya Chiko mau bermain bersamanya, walau saat itu tubuh Candice terlihat lemas dan kurus. Mereka bermain rumah-rumahan, Candice menjadi ibu dan Chiko menjadi ayah. Sebelum pulang Candice memberikan sebuah boneka kepada Chiko sebagai pengingat dirinya, untuk membalasnya Chiko pun tiba-tiba mencium pipi Candice dan berkata,
“Cepet sembuh! nanti kita main bareng lagi! Mulai sekarang aku pasti ada di rumah!”
“IYA!” jawab Candice penuh semangat.
***
Namun suatu malam saat hujan besar, Chiko mendengar sayup suara ambulan, perasaannya pun jadi tak enak.
Dan esok paginya, rumah Candice sudah ramai oleh pelayat. Chiko tak keluar kamar, ia hanya duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Lalu muncul sang ibu dengan pakaian serba hitam.
“Sayang, mau ikut ke pemakaman?”
Chiko hanya menggelengkan kepala. Sang ibu mendekat dan mengusap kepala Chiko.
“Candice seneng akhirnya bisa main sama kamu, kata ibunya dia sampai senyum sambil tidur.”
Chiko hanya terdiam dan sang ibu pun pergi.
Chiko memeluk boneka pemberian Candice begitu erat. Lalu terdengar suara ketukan di jendela.
“Candice?!”
Chiko segera mendekati jendela namun tak ada siapa-siapa, hanya sebuah ayunan yang kesepian di depan rumah Candice, berayun pelan tertiup angin musim semi.