"Ada pesan terakhir, Pak?" aku bertanya pada bapak malang yang ada di depanku. Apa mau dikata, bom yang terpasang di tubuhnya akan meledak dalam lima menit lagi. Hanya aku satu-satunya pasukan penjinak bom yang ada.
"Kamu inikan penjinak bom. Masa enggak bisa mematikan bom ini. Saya takut nih. Malah disuruh nyebutin pesan terakhir." Bapak itu berkata dengan bibir bergetar ketakutan.
"Saya memang penjinak bom, Pak. Tapi masih magang. Tadi enggak sengaja lewat gedung ini dan ada di sini. Kalau menunggu pasukan penjinak bom yang profesional datang tidak akan sempat. Saya akan bantu sebisanya."
"Kalau begitu telepon saja pasukan yang profesional. Seperti di film-film itu loh! Kamu kreatif sedikitlah tolong. Ini nyawa saya sudah di ujung tanduk."
"Memang bapak punya tanduk?"
"Sial! Empat menit lagi."
Bapak itu menoleh ke arahku dengan wajah kesal. Jika saja dia tidak ditipu seseorang yang berhasil menempelkan bom itu ke tubuhnya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Kucoba untuk tetap tenang sebisa mungkin.
"Ayo tinggal pilih mau putusin kabel merah, biru atau kuning. Cepat!" Bapak bertubuh gempal dan botak ini mendesak seperti dia yang paling tahu.
Aku terus mengutak-atik bom yang ada di punggungnya. Sayangnya waktu pada bom ini tetap berjalan.
"Pak! Tidak ada waktu lagi. Jika bapak ada pesan katakan saja."
"Heh! Maksud kamu apa? Memangnya kalau saya bilang pesan terakhir saya, kamu mau apa? Mau meninggalkan saya sendiri di sini. Sedangkan kamu melarikan diri? Tidak keren."
"Ya daripada korban dua nyawa, mending korban satu nyawa saja Pak. Bapak jangan bayangkan seperti di film-film. Ini dunia nyata Pak."
Wajah bapak itu semakin pucat. Namun raut wajahnya seperti berubah. Dari raut wajah marah berubah menjadi raut wajah pasrah. Sementara waktu hanya tinggal hitungan 3 menit lagi.
"Katakan pada istriku, tolong maafkan semua kesalahanku. Begitu juga pada anak-anakku. Sampaikan pada mereka aku sebenarnya sangat mencintai dan menyayangi mereka."
"Kenapa pesan Bapak malah itu? Memangnya apa kesalahannya Bapak? Apa Bapak punya salah yang besar? Jika memang ada. Akui saja Pak. Biar arwah Bapak tenang nantinya. Waktu bapak dua menit lagi. Cepat Pak. Saya mau lari ini."
Aku memasang ancang-ancang ingin berlari. Melihat aku yang ingin pergi segera dan sudah membalikkan badan. Bapak itu berkata,"katakan pada Istriku. Selama ini aku sebenarnya berselingkuh. Dengan sekretaris pribadiku. Maafkan aku. Tolong sampaikan permintaan maafku."
Aku menyengir, menahan tawa. Bapak itu tampak heran.
"Heh! Kenapa kamu malah menyengir?"
"Silakan sampaikan sendiri pada istri Bapak. Itu dia ada di belakang Bapak. Saya hanya di bayar untuk ini semua. Supaya Bapak mau mengaku."
"Suami kurang ajaaaar!" terdengar teriakan seorang wanita. Bom itu sudah meledak. Ledakannya bisa jadi tambah parah. Aku memilih menyingkir.