Dunia ada di abad 22 sekarang. Di era ini, cari jodoh itu tidak sulit. Manusia sudah menciptakan sebuah alat bernama "Alat Pendeteksi Jodoh". Akurasi alat ini hampir 100 persen. Tapi namanya juga hampir, artinya tetap masih ada peluang tidak akuratnya.
Cara penggunaannya juga mudah. Alat ini bentuknya mirip seperti staples keluaran abad 21. Cukup tempelkan jempol tangan si pria dan si wanita pada bagian tengahnya, maka langsung tampil di layar kecil, apakah jodoh atau tidak. Jika jodoh, maka akan ada tulisan, "Selamat Kalian Berjodoh." Dan bila tidak jodoh akan ada tulisan "Maaf kalian belum beruntung, silakan coba lagi!"
Masalah pada cerita ini ada pada seorang pemuda bernama Amex. Usianya memasuki kepala 3. Namun jodohnya belum juga ditemukan. Padahal banyak wanita yang sudah menempelkan jari jempol mereka di alat pendeteksi jodoh milik Amex. Amex mengira jika alat pendeteksi jodohnya pasti rusak.
"Alat ini pasti rusak!" Amex berkata pada salah satu teknisi di tempat reparasi.
"Itu sudah diperbaiki 7 kali, Amex," kata si Teknisi.
"Kalau begitu kenapa jodohku belum juga ditemukan? Selalu saja aku disuruh coba lagi. Aku sudah suka setengah mati pada Turil gadis cantik dari distrik sebelah. Alat ini bilang malah tidak jodoh. Kurang ajar!"
"Yasudah beli baru saja."
"Terlalu mahal harganya. Zaman semakin canggih, apa-apa semakin mahal. Kalau aku pinjam punyamu? Bisa?"
"Mana bisa. Aku sudah menemukan jodohku. Kau tahu, kan? Alat semacam ini, jika yang punya sudah menemukan jodohnya langsung otomatis tidak bisa digunakan lagi."
Amex tambah kesal.
"Tak bisakah kau manipulasi? Agar layarnya bertuliskan jodoh ketika Turil menempelkan jempolnya." Amex berkata dengan nada memelas.
"Astaga! Kau mau aku menyalahi takdir?"
"Menyalahi takdir? Asal kau tahu, sejak alat ini diciptakan, manusia sudah menyalahi takdir. Tidak ada lagi yang namanya berjuang untuk mendapatkan jodoh. Tidak ada lagi debar-debar cinta. Tinggal tempel, klik, jodoh, selesai. Persetan mau cinta atau tidak cinta, yang penting jika jodoh kata alat ini, besoknya langsung ke KUA. Paling hanya nol koma sekian persen orang yang bermasalah dalam urusan perjodohan. Sialnya aku masuk ke dalam yang nol sekian itu."
"Heh! Ini menarik, Amex."
"Menarik apanya?"
"Ini seperti sebuah misteri."
"Misteri apa?"
"Misteri kenapa alat pendeteksi jodoh ini tidak bereaksi padamu."
"Aku tidak tahu. Sudah kucari tahu, tapi belum ketemu jawabannya. Dan aku benci memikirkan kemungkinan terburuknya."
Amex tidak salah jika dia takut dengan kemungkinan terburuknya. Alat pendeteksi jodoh memang tidak bisa mendeteksi siapa jodoh seseorang jika dalam kondisi tertentu. Alat ini tidak bekerja pada orang yang sudah meninggal, pada orang yang jodohnya sudah meninggal dan pada orang yang yang diprediksi akan mati muda sebelum sempat menikah.
"Amex itu! Lihat itu!"
Teknisi itu menunjuk ke arah seorang nenek di pinggir jalan.
"Kau gila! Kau mau bilang jika jodohku nenek-nenek?"
"Bukan. Nenek itu seperti memanggilmu."
Amex bingung. Namun nenek tersebut semakin lama semakin mendekat pada Amex. Dia lalu tanpa ba-bi-bu menyentuh kedua tangan Amex.
"Andex."
"Maaf Nek! Saya Amex, bukan Andex."
"Kamu memang Amex, tapi kedua tangan ini jelas milik Andex. Apa orangtua kamu tidak cerita?"
Teknisi itu mengangguk. Kini dia tahu dimana akar masalahnya.