Berada di salah satu sudut perempatan terkemuka di kota tua ini, berdiri kedai kopimu. Kedai kopi yang tidak terlalu besar, mungkin hanya untuk sekitar sepuluh pengunjung saja. Itu pun mereka yang datang hanya ingin menikmati secangkir kopimu.
Di saat malam, interiornya menyampaikan kehangatan dengan dominasi meja kursi kayu pinus yang mengguratkan alur serat yang khas, dipadu dengan bantal-bantal lembut berwarna marun yang cukup gelap. Di salah satu sudutnya berdiri sebuah rak buku. Beberapa novel klasik karya penulis-penulis besar dunia macam Shakespeare, Twain, Hemingway, Tolstoy berjajar.
Di samping rak buku itu berdiri sebuah jukebox legendaris bermerek “Rock-Ola” dengan lampu warna-warni klasiknya. Didominasi dengan koleksi piringan hitam lagu-lagu yang pernah Hits di tahun ’60-70 an, jukebox ini memberikan nuansa audio tersendiri bagi para pengunjungnya.
Saat aku berada di sini, kamu tahu benar aku banyak menghabiskan koin-koinku untuk memutar lagu yang ada di dalamnya.
Sayang kamu tidak pernah mau kuajak berdansa saat piringan hitam itu sedang diputar.
“Don’t even think! I’m tired. And tomorrow will be busy as usually. So, stop your stupid act. Keep it in your stupid minds!” jawabmu setiap kali aku mengajakmu berdansa.
***
Kuputar cangkir kopi yang tinggal sepertiga saja isinya. Sebuah racikan kopi robusta yang cukup pahit buat lidah orang kebanyakan. Bukan kopi favoritku. Ini hanya sebuah substitusi dari minuman yang tak kudapatkan lagi di sini.
Sudah setahun ini aku tidak menemui menu espresso di kedaimu. Menurutmu, kamu sudah tidak dapat lagi mendapatkan bahan bakunya dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau. Pun, penikmat espresso hanya sedikit.
Menurutku, itu hanya alasanmu untuk menolak keinginanku mengajakmu berdansa.
“Kamu tidak suka kopi itu?”
“Bukan cangkir pertama kopi serupa yang menemaniku setahun belakangan ini,” jawabku.
“Aku minta maaf tidak menyediakan espresso lagi buatmu, meski aku tahu kamu sangat menyukainya.”
“Tidak ada masalah. Bukan aku saja yang menjadi pelangganmu.”
“Tapi kopi ini tak senikmat espresso kesukaanmu.”
“Aku bisa mendapatkan espresso di kedai lain. Tapi aku tidak pernah pergi ke sana. Kamu tahu alasanku, kan?”
“Mungkin kamu kemari untuk melihat Maria, karyawanku yang cantik itu? Jangan marah dan tersinggung, tapi, aku tahu kamu cukup lama sendiri. Tidak ada salahnya kamu mendekatinya. Dia cukup cantik bukan?”
“Aku bahkan tidak tahu yang mana karyawanmu yang bernama Maria itu.”
Aku meraih gagang cangkir itu perlahan. Sekali tenggak isinya sudah berpindah tempat. “Lihat, aku menghabiskannya. Seperti cangkir-cangkir sebelumnya. Tandas.”
Kuraih mantel di sandaran kursi. “Terima kasih kopi dan waktunya. Adios.”
Kamu terhenyak.
“Knock, knock, knock.”
Hujan deras membasahi kaca. Aku tidak sedang mengharapkan kedatangan tamu tengah malam seperti ini.
Ketukan di pintu kembali terdengar.
Malas kubuka pintu. Kamu berdiri di depanku dengan mantel basah kuyup.
Detak jantungku mengeras.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Masuklah. Lepas mantelmu sebelum masuk angin.”
Langkahmu ragu memasuki kamarku. Tubuhmu menggigil kedinginan.
“Tidakkah besok kamu masih harus mengurus kedai?”
“Kedai tutup besok. Aku ingin libur sejenak.”
“Tutup?”
“Ya. Anak-anak perlu rehat juga. Aku tidak ingin mereka jenuh dengan pekerjaannya.”
“Lantas, kenapa kamu tidak pulang dan istirahat?”
Matamu mencari mataku. Bibirmu yang beku bergetar sendu. “Aku ingin berdansa denganmu.”