Gerimis turun malam ini dan dia berdiri di pinggir atap gedung. Sangat pinggir. Sewaktu-waktu dia bisa melompat. Aku harus bertindak cepat. Juga tepat.
Dia seorang eksekutif muda, 28 tahun, cantik dan berada di atas trajectory karir yang sangat bagus. Lalu apa yang membuatnya ingin menghabisi diri?
Aku menghampirinya. Tidak terlalu dekat, tapi sejajar dengannya sehingga seperti dirinya aku bisa melihat ke bawah gedung dan melihat ancaman yang gravitasi tawarkan.
"Kamu akan membiarkan aku?" katanya datar, kosong, nyaris tanpa kehidupan.
Aku hanya mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan."
"Bagaimana dengan omong kosong kamu tentang akhirat?"
Aku menatapnya. Dia melirik kepadaku dan balas menatap. Matanya begitu kosong dan gelap.
"Kamu punya bukti akhirat itu omong kosong?" kataku.
Dia menyeringai, "Kamu punya bukti akhirat itu ada?"
Aku merunduk. "Setidaknya dengan menganggapnya ada itu lebih aman."
Dia mendesah dan berpaling dariku. "Selama ini aku jalani hidup dengan memilih cara-cara aman, lalu lihat aku sekarang. Menimbang-nimbang apa aku mesti melompat atau tidak."
Aku tarik nafas panjang. “Ya, kita mahluk fana, Miss. Kita akan mati. Itu pasti. Tidak ada yang aman dari mati.”
“Setidaknya aku memilih saat dan caraku sendiri.”
“Dan Anda berpikir akhirat omong kosong,” gumamku lirih.
Dia memicingkan matanya, menatapku heran. “Apa maksudmu? Apa hubungannya?”
Aku mengangkat bahu, “Bagaimana Anda bisa berpikir akhirat itu omong kosong sementara Anda sendiri tidak mau menjalani hidup sepenuhnya?”
Dia terpana melihatku.
“Untuk berkesimpulan dengan baik dan benar, kita mesti melihat skema utuhnya, kan? Bagaimana bisa berkesimpulan omong kosong kalau hidup Anda sendiri enggan Anda jalani sampai akhir? Kesimpulan Anda Prematur! Jalani hidup Anda sepenuhnya terlebih dahulu! Cross every bridge! Leave no path untaken! Ambil segala kesempatan yang ditawarkan hidup! Tiap tangis dan tawa! Every joy and sorrow! Seiring itu kita bisa lihat apa yang benar, apa yang salah, apa yang bisa kita simpulkan tentang akhirat! Apa itu omong kosong atau benar-benar ada!”
Dia mendesah dan berpaling. “Kamu tidak akan mengerti.”
“Tepat! Aku memang tidak mengerti! Bagaimana seorang perempuan muda, cantik, kaya raya, mau mengakhiri hidupnya? Apa yang kurang? Cinta? Demi Allah, kalau kamu mau, aku bisa mencintaimu sepenuh hati!”
Dia terpana menatapku, namun kemudian tersenyum. “Dan kenapa bukan itu yang kamu katakan seminggu yang lalu?”
Aku terdiam.
Dia menggelengkan kepala sebentar, lalu melompat.
Aku sempat terkesiap dan hendak meraihnya, tapi urung. Urung karena dia benar; aku sudah terlambat. Dia sudah mendarat seminggu yang lalu….
Aku menengadah, membiarkan gerimis menimpa wajahku, menyamarkan tangisku….
L'esprit de l'escalier, itulah yang sedang aku alami. Istilah Prancis untuk Staircase Wit; pikiran yang mencari jawaban atau respon yang tepat terhadap suatu yang sudah berlalu, yang sudah terlambat. Sebuah proses belajar sebenarnya. Bukan hal yang buruk. Tapi kalau sampai dibayar nyawa…, itu terlalu mahal… sangat mahal….