Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
6,987
Kamera
Misteri

Waktu sampai rumah, Kakak langsung mengajak teman-temannya ke ruang tengah. Salah satu dari mereka mengeluarkan kamera dan langsung merekam. Kakak tersenyum menghadap kamera. Cukup lama Kakak bercanda bersama mereka sampai akhirnya semua orang pulang.

"Kakak senang ya ketemu teman-teman?" Aku duduk di kasur waktu Kakak masuk kamar.

"Nggak." Kakak mengambil sapu ijuk dari balik pintu. "Mereka beda sama kita, Dek. Kakak cuma pura-pura berteman sama mereka. Kamu tahu Dek? Nama asli Kakak aja mereka nggak tahu, HAHAHAHAHA."

Kakak mengayunkan gagang sapu ke kakiku.

"Kamu tahu, Dek? Kakak nggak pernah suka sama mereka. Anak-anak manja kayak mereka terlalu sering disayang orang. HAHAHAHAHA."

Kakak mengayunkan gagang sapu ke pipiku. Aku masih bisa melihat Kakak samar-samar, kedua tangannya bersiap mengayunkan gagang sapu ke kepalaku. Kakak berhenti, pintu kamar mendadak terbuka.

"ANJING LO NGAPAIN?! KENAPA LO MUKULIN ADEK LO!!!"

Lalu, aku ketiduran.

***

Sudah tiga orang yang menanyai aku. Pertanyaan mereka sama, mereka ingin tahu nama orang tuaku. Aku nggak ingat, Kakak juga bilang kalau aku nggak perlu mengingat nama Ayah dan Bunda. Sekarang datang lagi ibu-ibu yang mengajakku bicara berdua.

"Adek umurnya berapa tahun sayang?"

"Dua belas. Kakak mana, Bu?"

"Kamu masih lebam-lebam sayang."

"Kakak bukan orang jahat, Bu. Kenapa Kakak harus dibawa polisi?"

Dia mengusap ubun-ubun kepalaku dan tersenyum kecil. "Orang tua kamu ke mana sayang?"

"Nggak ada, aku cuma punya Kakak. Makanya jangan pisahin aku sama Kakak. Kalau Kakak masuk penjara, aku mau ikut aja."

Aku takut kalau nggak ada Kakak. Kenapa ibu ini susah dibilangin?

"Orang tua kalian ke mana? Coba cerita pelan-pelan sama ibu sayang."

Sejak Ayah dan Bunda dibunuh, aku cuma tinggal berdua sama Kakak. Meski nggak sekolah, aku bisa berhitung kok. Sudah tujuh tahun aku tinggal berdua sama Kakak. Wow! Ibu itu memberiku chessecake!

"Kamu masih ingat nggak kejadian tujuh tahun lalu seperti apa?"

Seingatku, malam itu Kakak memintaku supaya nggak berisik. Kakak minta aku sembunyi di kolong kasur. Kakak nggak bisa ikut karena sudah lulus SMA. Waktu pintu kamar jebol, ada tiga pasang kaki masuk. Mereka membawa Kakak. Kakak berusaha menjerit, tapi mulutnya dibekap. Aku menutup telingaku, sampai Kakak menghampiriku.

"Mereka udah pergi." Kakak datang memelukku dan terisak. "Ayah dan Bunda udah nggak ada, Dek. Mereka nggak sempat bunuh Kakak, warga keburu datang."

Setelahnya aku ketiduran di pelukan Kakak. Waktu bangun, aku sudah ada di rumah sakit. Kakak bilang, aku cuma demam dan cuma perlu dirawat sebentar.

"Terus, kamu nggak pulang ke rumah?" Ibu itu mengusap kepalaku lagi.

Kakak bilang, kita cuma akan tinggal berdua, rumah yang lama terlalu besar. Jadi, kami pindah ke rumah yang lebih kecil.

"Kuenya nggak dihabiskan sayang?"

"Buat Kakak."

"Habiskan aja, nanti beli lagi."

Seseorang mengantar sepiring kue lagi.

"Besok kamu ketemu Kakak. Mau bawa apa buat Kakak? Nanti ibu yang belikan."

"Kamera."

"Kenapa kamera?"

"Karena di depan kamera, Kakak selalu tersenyum."

Lama-lama kepalaku jadi berat, pandanganku kabur.

"Benar, ini anaknya si Pur. Kamu urus yang cewek, adiknya saya yang urus." Ibu itu menatapku, dia seperti mengucapkan sesuatu padaku. "Bentar lagi kamu ketemu Kakak, Ayah, dan Ibumu, sayang."

Lalu, aku ketiduran.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar