Citra yang buruk sebagai seorang sopir taksi di Saudi juga kurasakan. Aku adalah seorang mahasiswa King Abdul Aziz University, Jeddah yang juga berprofesi sebagai sopir taksi. Benar seperti yang diceritakan oleh beberapa orang sahabatku. Banyak beredar cerita-cerita miring yang memojokkan citra sopir taksi di Saudi terutama di Jeddah sebagai penculik ataupun terlibat dalam sindikat prostitusi terselubung.
Seolah sulit mengembalikan kepercayaan dari kecurigaan para penumpang terutama perempuan. Hal ini juga sering kualami, beberapa penumpang perempuan sering menaruh curiga padaku, entah apa aku punya tampang seperti penculik, sebel juga, pikirku.
Akan tetapi terhadap kabar adanya praktek prostitusi terselubung, tidak sedikit yang membelalakkan mata. Mungkin sebagian besar masyarakat akan berkata… “apa iya ada pelacuran di sana, melibatkan orang Indonesia pula?” Begitu pula yang kupikirkan sebelumnya.
Maklumlah, Arab Saudi sudah sangat identik dengan tempat suci. Lagi pula, negeri kaya minyak itu menerapkan hukuman berat bagi pelaku perzinahan yaitu hukuman rajam! Lalu, logikanya secara akal sehat siapa yang berani coba-coba untuk berzina di sana? Sejuta apresiasi antara percaya dan tidak menjadi suatu dilema dalam masyarakat muslim di dunia.
Secara logikanya memang begitu namun fakta berkata lain. Prostitusi di sana yang melibatkan perempuan Indonesia bukanlah kabar burung lagi tapi sudah menjadi rahasia umum. Setelah cukup lama bekerja sebagai sopir taksi, aku semakin tahu mengenai seluk beluk prostitusi terselubung itu.
Banyak sebagian dari para TKW yang digaruk dan ditahan oleh polisi setempat dengan tuduhan terlibat praktik prostitusi. Mereka terjebak dan tidak berdaya.
Yang membuatku prihatin adalah ternyata sebagian besar dari kaki tangan germo, biasanya pria asal Indonesia juga. Hampir tiap hari aku mendapat order untuk mengantar jemput para pelacur. Banyak perempuan asal Indonesia yang terjebak menjadi budak pemuas nafsu kaum lelaki di Saudi.
Terlepas dari itu semua, yang paling membuatku geram adalah kenyataan bahwa selain para pelacur Indonesia yang paling banyak, mereka juga dihargai seperti layaknya pelacur jalanan. Pelacur Indonesia di sana terlanjur dikenal sebagai barang murahan.
Sampai-sampai melekat julukan melecehkan seperti abu khomsin. Dalam bahasa Arab artinya barang seharga 50 riyal. Dibandingkan dengan harga sebuah jam tangan biasa, mereka cuma bernilai seperempatnya. Kalau dibandingkan dengan kudapan di sana, si ”abu khomsin” hanya setara dengan lima mangkok bakso.
Pertemuanku dengan Novita, TKW Indonseia asal Sumba, NTT, telah membuat mataku terbelalak. Alih-alih memperoleh kesejahteraan seperti yang diimpikan banyak orang, namun kenyataan pahit harus diterimanya. Dia harus menghadapi kejaran polisi Saudi karena dituduh melakukan pencurian dan pembunuhan terhadap majikan laki-laki. Tanpa surat resmi, dia harus rela hidup di apartemen penampungan dan mirisnya dia dipaksa untuk melacur hingga akhirnya dia tertangkap dan dipenjara.
Dengan bantuan sahabat mahasiswa asal Indonesia dan Kedutaan Indonesia di Arab Saudi, aku mendampingi dan melakukan pembelaan untuk persidangan yang alot untuk Novita, membuktikan bahwa dia tidak bersalah dan lepas dari hukuman pancung.
Dari situlah telah menumbuhkan benih-benih cinta di antara kami. Akhirnya Novita kembali pulang ke Indonesia, sementara aku masih harus menyelesaikan studiku. Namun janji setiaku untuknya tetap terpatri di dalam jiwa. Janji untuk sang pahlawan devisa.