Namaku Kasman. Di saat teman sebayaku belajar di SMP, aku sedang bekerja. Aku bisa memetik kelapa atau membersihkan rumput di kebun tetangga. Terkadang aku diminta mencangkul sawah, menyiangi padi, atau saat panen ikut memanen padi.
Pekerjaanku yang lain adalah jualan balon atau tlembungan jika ada tontonan, seperti ebleg atau keramaian lainnya. Aku paling suka menonton ebleg atau kuda lumping. Entah mengapa aku begitu hanyut saat mendengar musik pengiring ebleg, seperti saat ini.
Nang …. Pong… Nang…. Burrr….
Begitulah telingaku menerjemahkan suara musik itu. Sering, tanpa aku sadari kakiku menghentak-hentak mengikuti musik itu. Perhatianku sedikit terganggu saat seorang anak mencolek pinggangku.
“Kang, tlembungane piranan? Tuku siji kang.”
“Rong ewu-an. Sing ngendi?”
“Sing biru. Kie duite, Kang.”
Kuambil uang dua ribuan yang disodorkan anak itu. Kuserahkan balon biru kepadanya.
Perhatianku kembali ke dua belas penari ebleg. Makin lama tarian mereka makin rancak dan cepat. Saat para penari mulai membentuk formasi lingkaran adalah bagian yang paling aku tunggu. Ini adalah ritual puncak pertunjukan ebleg.
Dua orang berpakaian lurik dengan ikat kepala hitam memasuki arena. Mereka adalah tukang timbul. Tugas mereka memanggil arwah dan menyembuhkan penari yang kesurupan. Salah satunya membawa anglo kecil dengan arang yang membara. Kepulan asap putih membumbung, meninggalkan aroma kemenyan. Seorang lagi membawa bejana berisi air bunga.
Musik ditabuh makin cepat dan keras. Para penari makin semangat meliuk-liukkan kuda kepangnya. Mereka mengelilingi kedua orang itu. Lingkaran makin lama makin sempit. Asap membumbung dari tengah lingkaran. Musik makin cepat. Para penari berputar makin cepat. Hentakan-hentakan kaki mereka makin kuat. Aroma kemenyan semakin pekat berpadu semerbak bunga melati dan mawar.
Tiba-tiba lingkaran penari tercerai berai. Para penari terhuyung. Tiga penari bergulingan di tanah. Sisanya menari tidak teratur. Lima penari masih memegang erat kuda kepangnya. Sisanya telah melepaskan kuda kepang. Sebagian menari di tempat dengan mata melotot dan tangan mengepal. Ada pula yang berlari menuju penonton, yang menimbulkan kepanikan.
Aku begitu takjub. Secara tak sadar, hentakan kakiku ke tanah makin cepat. Aroma kemenyan dan bunga-bunga terasa menempel di hidungku. Tidak mau hilang. Pikiranku kosong.
Tukang timbul yang membawa bejana berjalan memutar. Digiringnya para penari agar tetap di tengah arena. Ia makin dekat denganku. Makin kuat pula aroma melati dan mawar menusuk hidungku.
Tiba-tiba ia menyipratkan air bunga ke arahku. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Pandanganku kabur. Tidak lagi terlihat dan terdengar riuh penonton. Aku hanya mendengar alunan musik.
Seorang wanita jelita bermahkota perak dan berbaju keemasan, menghampiriku. Disampirkannya selendang merah ke pundakku. Dibawanya aku ke tengah arena. Diajaknya aku menari. Aku tidak melihat orang lain. Yang kulihat hanya wanita cantik itu.
Entah sudah berapa lama kami menari, ketika tiba-tiba wanita itu berteriak. “Moh! Inyong moh lunga. Inyong kepengin nari karo Kasman.”
Wanita itu menari lebih cepat. Tubuhnya meliuk lebih cepat lagi, hingga tiba-tiba berubah menjadi asap kekuningan. Asap itu menyebar, kemudian menghilang.
Aku merasakan sentuhan tangan dingin di dahi, kemudian berpindah ke perut. Sebuah hentakan kuat aku rasakan di perut. Samar-samar aku melihat orang-orang mengelilingiku. Tukang timbul tersenyum dan menyangga tubuhku yang masih kaku.
Pamulang, 10 April 2021
Hohoohoo