Kuhirup udara dingin menusuk kulit di balkon kamar malam ini. Pikiranku melayang, terbayangkan hangatnya sebuah pelukan yang selalu menenangkan. Pelukan itu, sudah satu tahun ini tak bisa aku rasakan.
Suara dering telepon membuyarkan segala lamunan indahku. Kulihat nama yang sedang aku lamunkan tertera di layar teleponku.
"Assalamualaikum nak."
"Waalaikumussalam bu."
"Kamu apa kabar sayang?"
"Ratna baik-baik aja bu. Ibu sendiri apa kabar?"
"Alhamdulillah, ibu baik nak. Kamu jangan sampai sakit ya, ibu gak bisa rawat kamu. Kamu jangan sedih-sedih, jangan galau karena ibu gak bisa peluk kamu. Bahagia selalu nak, ibu akan selalu mendoakan mu."
Jatuh sudah air mata ini. Sungguh, aku tak bisa membendung rasa rindu ini. Terlalu sulit untuk aku lalui.
"Iya bu, ibu juga sehat-sehat di sana."
"Iya nak, pasti ibu akan jaga kesehatan. Sudah dulu ya nak, kamu jangan lupa istirahat."
"Iya bu. Tapi, ibu sudah makan kan?"
"Sudah, ibu sudah makan tadi. Ibu tadi masak gulai ayam kesukaan kamu, hitung-hitung buat pengobat rindu ibu sama kamu."
"Ratna juga rindu ibu."
"Sudah ya nak, jangan nangis. Percaya nak, semua pasti akan berlalu dan kita akan segera bertemu."
"Iya bu."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Ya Allah, air mata ini terus menetes. Betapa sakitnya hatiku karena harus memendam rindu ini selama satu tahun. Aku di rantau dan ibu di desa. Komunikasi kami hanya via suara. Sungguh, diriku ini rindu rumah yang penuh cinta.