Dia belum pernah melakukannya. Ini pertama kali baginya. Sejak kurang dari satu jam lalu dia berdiri di sana, di antara gang sempit, di tengah dingin malam. Matanya awas memindai rumah bertingkat dua di seberang jalan.
Lelaki berbadan kurus itu menyulut rokok, menghisap dalam lantas mengeluarkan asapnya. Sesekali tangannya mengusap tengkuk tak nyaman, menit berikutnya merogoh saku celana, menyembunyikan gemetar tangan.
Ini tidak mudah, batin lelaki itu. Sementara malam kian larut.
Telinganya berdenging karena terlalu banyak suara-suara yang tiba-tiba menyambangi. Dari kuping kanan ada yang berucap, "Jangan lakukan itu! Kamu mau anak dan istrimu makan duit haram?" Sementara dari kuping kiri menyanggahnya, "Kalau tidak kamu lakukan, mau makan apa anak dan istrimu besok? Ingat memberi nafkah keluarga juga termasuk amal."
Lalu bayangan istrinya yang tengah hamil anak ketiga menyeruak di awang-awang. Disusul dua anaknya yang memamerkan tawa. Dia ikut tertawa.
Namun, tawa itu terhenti beberapa menit setelahnya. Berganti amarah yang menguasai jiwa. Giginya bergemeletuk dengan mata memerah ketika tayangan seorang lelaki berbadan gemuk dengan jas rapi menunjuk-nunjuknya, memaki dengan beringas hanya karena guci yang tak sengaja dia pecahkan.
Membuang puntung rokok sembarangan, dia lantas melangkah mantap dengan tangan terkepal erat menuju rumah dua tingkat itu.
Dia sudah hafal betul tiap sisi rumah. Termasuk celah yang bisa dia lewati tanpa harus takut diketahui.
Lelaki kurus itu berjalan mengendap. Hati-hati sekali melangkah, dengan mata awas memindai sekitar. Hingga dia tiba di depan pintu kayu bercat coklat tua. Kamar majikannya, ah ... mantan majikan.
Tangannya terulur, memutar knop pintu yang tidak dikunci. Lantas menyelinap masuk. Lemari pakaian di pojok ruangan yang dia tuju. Tempat lelaki gempal mantan bosnya itu menyimpan sejumlah uang. Tentu saja dia tahu. Karena dia orang kepercayaan majikannya. Dulu. Sebulan yang lalu.
Dia nyaris menggapai pintu lemari itu saat tiba-tiba suara benda pecah terdengar. Disusul bunyi debum yang cukup keras.
Lelaki itu berjengit waspada. Menyembunyikan tubuh di samping lemari tiga pintu. Bersiap jika harus baku hantam dengan seseorang.
Namun, detik selanjutnya kerutan menghiasi kening. Tidak ada apa pun. Suasana kembali sunyi.
Rasa penasaran membawanya keluar kamar. Menilik sekitar yang ternyata lengang. Lantas lamat-lamat dia mendengar lengkingan suara tertahan. Seperti seseorang yang tengah mengaduh sakit.
Menoleh ke ruang sebelah, dia mendekat. Memasang kuping. Benar saja ada suara di dalam sana. Ruang kerja mantan majikannya.
Melalui celah pintu yang tidak menutup sempurna, dia melihat ke dalam sana. Netranya membola, seonggok tubuh berbadan besar itu terkulai di lantai. Napasnya seperti tercekik. Putus-putus. Satu tangan memegangi dada.
“Aduhai! Ini malam keberuntunganmu.” Lagi, bisikan itu terdengar. “Lihatlah bosmu sekarat. Mungkin itu azab. Sekarang kamu bebas menggasak harta yang dia banggakan.”
Senyumnya terbit, membayangkan sebentar lagi dia bergelimang duit. Tapi, detik selanjutnya senyum itu pudar, saat bisikan lain ikut terdengar. “Kamu mau jadi pembunuh? Hidupmu mungkin berkecukupan, tapi tak akan bisa lepas dari bayang kesalahan.”
Dia menelan ludah kelat, dipandangi tubuh yang tengah meregang sakit itu. Mengacak rambut, dia lantas berbalik ke ruangan semula. Mendekati nakas dan meraih gagang telepon, menghubungi ambulans.
Tamat