SSSAT !
Sebuah sabetan mendarat mulus di paha kanan seorang gadis kecil berambut panjang. Sepuluh jemari kecil menggenggam erat kaos putih lusuh yang melekat pada tubuh mungilnya. Ia meringis menahan sakit. Kepalanya menunduk. Matanya terpejam menahan hujan yang sedang transit diujung kelopak mata.
Di depannya seorang perempuan muda berusia 20 tahunan berdiri dengan nafas terengah. Daster motif bunga yang warnanya tak lagi menawan berpadu sempurna dengan kulit sawo matang penuh dengan luka bekas sayatan. Aroma bawang bercampur keringat melengkapi penampilan ala kadar perempuan itu. Butiran keringat nampak pada wajah merah penuh amarah. Rambutnya berantakan, yang separuh masih terikat karet gelang dan yang separuh terurai tak karuan, sama seperti perasaan hatinya yang juga tak karuan. Tangan kanannya menggengam sapu penebah kasur yang baru saja digunakannya untuk melancarkan aksi.
"Dikongkon momong malah dolanan dewe ! Saiki delok ! Nek wis tibo babak bundas ngono piye. Aku iki pontang-panting ben kowe iso mangan !"
Gadis kecil itu masih berdiri di tempatnya. Menahan air mata yang sesaat lagi akan membanjiri pipi tirusnya. Tirus, nyaris tanpa daging. Hatinya berkata pergi tapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa, selain menerima semua perlakuan perempuan muda itu.
"Nangis ! Nangis kono sing banter ben tonggone krungu ! Nangis kono ! Ora pisan pindo dikandani sek pancet wae ! Ndableg !", perempuan muda itu mendorong kepala gadis kecil ke belakang.
SSSAT !
Satu sabetan mendarat lagi. Kini di paha kirinya.
"Bocah nakal !"
Gadis kecil itu menangis tanpa suara. Hatinya menjerit sakit. Ia menginginkan pertolongan tetapi tidak tahu kepada siapa ia harus meminta. Ia mempertahankan posisi kepala yang masih saja menghadap ke lantai, sebuah bentuk usaha menyembunyikan semua kesakitan yang telah berulangkali diterimanya dari perempuan itu.
Gadis kecil itu sakit. Bukan. Bukan sakit karena sapu penebah. Tapi sakit yang lain yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskan sakitnya.
Mendengar tangisan bayi dari luar ruangan, perempuan muda itu bergegas pergi meninggalkan gadis kecil seorang diri. Dilemparnya sapu penebah itu ke hadapan gadis kecil.
Gadis kecil itu duduk memeluk lutut. Dengan sesenggukan ia memanggil-manggil seseorang.
"Bapak..."
"Bapak..."
"Aku gak nakal pak"
"Aku mau ikut bapak"
Tanpa disadari seorang perempuan muda berusia 25 tahunan telah lama berdiri di depan pintu menyaksikan peristiwa itu terjadi. Sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya ia berjalan mendekati gadis kecil.
Dielusnya pundak, diciumnya kening, dan dipeluknya gadis kecil itu dengan penuh cinta.
"Jangan takut, aku ada di sini"
"Tenang, ia tak akan memukulmu lagi, jangan takut ya. Nanti kita cari bapak"
Seorang laki-laki berusia paruh baya berpakaian serba putih berwajah penuh wibawa berdiri di hadapan perempuan berusia 25 tahunan yang tadi memeluk gadis kecil. Ia melihat air mata jatuh membasahi pipi perempuan itu. Ia tersenyum kemudian berkata, “ jika kamu ingin sembuh kamu harus menemukan sumber kesakitan itu. Jangan takut, dekati sosok kecil dalam dirimu. Menangislah, lepaskan rasa sakit itu”. Terapis itu tampak lihai menangani pasiennya.