Rini, si gadis cilik penyemir sepatu. Aku ingat sekali saat kutendang kotak perkakas semir sepatunya sewaktu tergesa-gesa setahun yang lalu dan membuat isinya tumpah-ruah. Semenjak itu untuk pertama kalinya, aku tertarik dengan ucapan yang ia lontarkan seketika.
“Aduh, Mbak. Pelan-pelan sajalah kalau jalan. Kalau emang terburu-buru dibuat nyantai aja. Biar nggak grusak-grusuk.” Waktu itu, sambil membereskan peralatannya, aku cuma bisa mengangguk.
Setelah peristiwa itu, seringkali kusempatkan waktu seusai kuliah untuk mengunjunginya di tempat biasa ia mangkal. Halte Bus. Rini biasa duduk-duduk di sana sambil menunggu pelanggan datang. Tak jarang aku melihatnya asik membaca sebuah buku. Bukan semacam komik atau kumpulan dongeng, tapi berupa buku-buku berbobot. Buku-buku yang membahas IPTEK, sampai autobiografi para tokoh pemuka agama. Saat kutanya dari mana ia mendapatkan buku tersebut, Rini menjawab panjang lebar.
“Orang-orang suka ngasih buku-buku kayak gini Kak ke Rini. Tapi masih mending dijual atau dikasihin ke orang, sih. Ada juga lho yang dibuang di tempat sampah. Padahal buku-buku itu masih bagus dan berguna banget. Nyatanya Rini bisa tahu banyak hal ya dari buku-buku yang mereka buang itu. Mungkin karena sekarang orang-orang lebih mengandalkan internet kali ya. Segala informasi sudah ada di hape masing-masing. Asal dipakenya emang buat sumber informasi, sih. Kalau dipake buat hal jahat, berabe juga ya, Kak.”
Aku menepuk kepalanya pelan dan kembali bertanya, “Lha buku ini kamu dapat dari mana?”
“Kalau yang lagi aku baca dulunya dibuang. Kalau yang ini…” Rini mengeluarkan beberapa buku dari tas cangklongnya yang terbuat dari karung gandum, “… dikasih sama anak-anak komplek perumahan di sana. Rini masih punya lima di rumah.” ucap Rini polos.
Aku tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala membuyarkan lamunan tentang Rini. Mataku mencari-cari sosoknya. Sudah setengah jam lebih aku menunggunya di halte bus. Sampai…
“Kak Sissy, udah lama nunggu, ya?” seru Rini yang tiba-tiba menepuk bahuku. Aku mengelus dada kaget, sedangkan Rini cuma nyengir tanpa rasa bersalah. “Tadi Rini dapet pelanggan banyak banget di ruko sebelah. Jadinya lama, deh.”
“Nggak apa-apa, kok. Rini bawa apa, tuh?” tanyaku begitu melihat tangannya tampak menggenggam erat sesuatu.
“Bawa ini.” bocah itu meletakkan sesuatu di tanganku. Seketika, aku menjerit dan melempar benda itu saat tahu apa yang ia taruh di telapak tanganku. Seekor laba-laba yang… terbuat dari karet? Aku memandangnya jengkel. Oh iya, satu hal lagi tentang Rini, ia gadis cilik yang usil.