Bus yang kutumpangi di terminal Leuwi Panjang pagi ini penuh sesak, memaksaku untuk berdiri sepanjang perjalanan menuju ke kampus. Kudekap tas biru kesayangan di dada. Lima belas menit berlalu, seorang lelaki berkemeja biru laut mempersilahkan duduk, kini, ia yang berada di posisi berdiri. Alhamdulillah, ternyata masih ada orang baik yang peduli sesama. Kuhempaskan badan di kursi, lumayan pegal juga kaki ini.
***
“Turun di mana, Teh?” sapa seorang perempuan ramah. Ia menggendong seorang anak laki-laki yang umurnya kira-kira dua tahunan.
“Turun di kampus UIN Cibiru, Teh. Teteh turun di mana?” Aku balik bertanya.
“Wah, duluan saya, dong, Teh. Saya di Gedebage.”
Aku mengangguk seraya tersenyum singkat sebagai balasan dari ucapannya barusan. Setelah itu kami membisu, larut dalam pikiran masing-masing.
Satu-persatu penumpang turun di tempat tujuannya masing-masing. Kursi yang kududuki menyisakan kami bertiga, aku, perempuan itu, dan juga lelaki yang tadi mempersilahkanku duduk. Posisi dudukku sekarang berada di tengah-tengah mereka.
“Yang pakai kemeja biru laut itu suami saya,” kata perempuan itu.
“Oh, maaf, Teh, tukeran atuh duduknya.” Aku beranjak dari tempat duduk mempersilahkan perempuan itu untuk duduk di tengah.
“Nggak usah Teh, disini aja. Dia sangat tertarik melihat kendaraan lalu-lalang dari jendela bus,” tolaknya, kemudian membelai lembut kepala sang anak.
Sepanjang perjalanan, aku dan perempuan itu mengobrol, sedangkan suaminya lebih banyak diam. Sementara itu, anak dalam gendongan sang ibu tengah asyik makan biskuit cokelat. Sesekali berceloteh riang sambil menunjuk ke arah kendaraan melalui kaca jendela bus. Benar-benar lucu dan menggemaskan raut wajah anak itu, hingga aku tak dapat mencegah tanganku untuk menjawil pipinya.
Tiba di tempat tujuan, mereka berpamitan dan turun. Melalui kaca bus, aku masih sempat melihat lambaian tangan sang perempuan sambil tersenyum padaku. Kubalas pula lambaiannya dengan menyunggingkan senyuman. Benar-benar pasangan yang ramah, baik hati, dan juga menyenangkan, terutama Ibu dari anak itu.
“Neng, ongkosnya!” Suara kondektur bus mengagetkanku. Saking asyiknya benak ini fokus pada kenalan baru itu, aku tak menyadari ternyata bus ini sudah berhenti di terminal akhir.
Lima menit mengubek seluruh isi tas, tak juga kutemukan dompet kulit warna cokelat yang biasanya selalu setia berada dalam tas biruku. Keringat mulai bercucuran, sejumlah pertanyaan berkecamuk tanpa bisa terjawab, mungkinkah ketinggalan di rumah? Tapi, seingatku, sejak pulang kuliah kemarin, dompet kulit itu belum aku keluarkan sama sekali dari dalam tas. Mungkinkah pasangan suami istri itu ....?
Nggak, nggak mungkin. Buru-buru kutepis prasangka buruk itu. Mereka kelihatan baik, kok.
Rasa panik semakin melanda ketika menyaksikan kondektur itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Ia masih setia menengadahkan tangan. Senyum ramah yang disunggingkannya kali ini sungguh sangat menyiksa perasaan.