Rintik air yang jatuh malam ini takkan pernah sama dengan gerimis yang turun tiga ribu tahun lalu. Namun, lihatah Fred yang berdiri di bawah pohon krokot itu.
Fred dengan perasaan yang sama, menunggu Aisyah menyelesaikan ibadah malam natalnya di gereja pinggiran kota Depok bersama dingin angin yang juga masih sama dengkinya pada tulang tuanya yang rasa-rasanya tidak lagi bisa disebut tua.
Fred menggigil namun ia putuskan tetap menunggu walau tahu Aisyah takkan pernah keluar dari gereja di hadapannya itu.
Tak pernah Fred bertanya soal namanya yang agak janggal dalam benak itu. Tetapi dalam sebuah bingkai senja di atas kursi taman kota, Aisyah pernah bercerita pada telinga Fred, namanya adalah hadiah dari sahabat papanya. Hanya itu yang Fred tahu. Sebelum sempat mendengar lebih banyak cerita tentang nama Aisyah, tukang sapu taman mengusir Fred dengan sapu lidi jahanamnya. Bahkan sampai dua ribu tahun berlalu sejak saat itu, Fred belum mampu melenyapkan rasa benci pada wajah bedebah itu.
Beberapa orang mulai keluar dari gereja. Fred memandang satu per satu wajah mereka. Fred tak kecewa, sosok Aisyah tak kunjung ada di antara mereka. Aisyah takkan kembali ke gereja itu. Takkan pernah lagi.
Menyebalkan memang. Wajah cantik dan rambut beriak tenang sebahu milik Aisyah, yang kala itu bergaun kebaya putih memasuki gereja, harus keluar dengan berlumuran darah, tubuh yang tak lagi utuh, dan sepotong tangannya yang masih menguarkan parfum aroma bunga impor jatuh tepat di depan mata Fred meninggalkan tubuhnya.
Andai saja Fred manusia, bukan serangga kelas rendah yang menjijikan yang hanya bisa memainkan dua sungutnya, Fred tak mungkin hanya berdiri di bawah pohon krokot sialan itu. Sudah ia bekuk lelaki laknat pembawa bom itu.
Andai Fred manusia. Ingin ia jumpa Aisyah di alam sana. Bukan mengembara tanpa raga seperti saat ini. Menyebalkan baginya. Ya, kecoa memang menyebalkan bahkan ketika sudah mati sekali pun.
Walaupun tetap saja, Fred merasa lebih baik daripada bedebah itu.