Drone berputar di ambang langit. Awan melindungi dari kejauhan sekaligus saksi nyata kalau desingan drone itu sunyi. Tidak ada yang mendengar. Orang orang di bawah sana menunduk fokus pada sepasang sendal kotor yang mereka pakai, lebur dalam kesedihan akibat terlalu menyayangkan kondisi bumi saat ini. Bakteri kecil yang bertransformasi menjadi virus mematikan kini merugikan banyak pihak. Si pengendali itu memantau, topi anjing yang ia pakai, sedikit bergoyang dihempas angin. Tidak perlu mengingat kilas balik untuk memancing kesedihan, sekarang saja saat ia berdiri seorang diri mengamati layar drone, air matanya perlahan keluar. Di balkon ini, biasanya mereka berkumpul, heboh bercerita ini itu yang mengundang gelak tawa. Rumah mereka saling berhadapan, rasanya mudah saja bagi jiwa pemuda untuk menerobos protokol kesehatan demi menuntaskan hasrat bermainnya. Ternyata sulit, virus yang menyerang bumi ini tidak bisa diremehkan dan untuk menerima orang lain mampir ke rumah saja harus melalui tahap medis yang ketat. Senja hari ini sangat cantik, semburat jingga muncul seiring matahari menenggelamkan diri bertukar peran dengan bulan. Dia termenung di balkon kamarnya setelah meletakan remote control di bangku kosong, laki laki itu mendekati ujung balkon dengan tangan menengadah langit. Kalau mengingat orang tua bicara perihal senja, anak anak harus segera masuk rumah karena dunia lain akan terbuka di pertengahan hari menuju malam. Tentu ia tidak percaya akan mistis atau energi magis lainnya. Hanya saja ... ia realistis.
Debuman keras seperti ledakan membuat laki laki itu terperanjat kaget. Drone yang masih di udara terbakar lalu terjun bebas. Dia tersenyum miris, seketika hawa di belakangnya berubah panas.
***
Juna berkaca, rambut yang dua bulan lalu ia bleaching merah kehitaman mulai panjang, warnanya juga memudar.
Oke, masih tampan. Mengikat separuh rambutnya dengan karet gelang, Juna membiarkan anak rambut di bawah kuncirannya menjuntai. Setelah membubuhkan lipbalm dan sedikit pelembap agar wajahnya tidak kusam, laki laki itu meraih jas hitam yang hanya dipadukan singlet putih. Jangan tanyakan apakah Juna mengenakan stelan resmi atau tidak, nyatanya ia hanya memakai boxer pendek. Duduk di depan PC, bersiap menyalakannya beberapa detik kemudian ada email masuk melampirkan link resmi dari sekolah untuk masuk aplikasi tatap muka.
Terhubung, tapi anehnya pengguna dari aplikasi itu dibatasi, hanya lima orang.
Juna mengernyit, jari jemari yang menggenggam mouse di sebelah kanan pun aktif mengklik beberapa tombol untuk menemukan jawaban dari kebingungannya. Sial, tidak berguna. Layarnya tiba tiba eror. Juna berdecak kesal, menghempas asal mousenya seiring menyandarkan punggung di kursi.
"Sekarang apalagi?" gumam Juna lelah memijat pelipis yang banjir keringat dingin. "Tik ... tik ... tik ... tik ...." Menelan ludah usai mendengar suara aneh dari komputernya, kini takut menggerayangi saat layar itu bergerak random menampakan keempat sahabatnya yang juga dilanda kebingungan.
"Hey, apa kalian baik baik saja?" tanya Juna mencondongkan separuh badannya sambil berteriak pada Suna, Haru, Taera dan Bami.
Bak diredam, mereka sibuk meracau dengan mulut terbuka. "Sial, sebenarnya apa yang terjadi?" Tidak peduli konsekuensi, Juna meraih ponsel di nakas, berlari ke balkon sambil mengetikan sesuatu kepada sahabatnya. "Kalian keluarlah sekarang! Temui aku!"