Menjadi pembenci mungkin jalan pintas terbaik saat orang di sekitar banyak menyembunyikan rahasia yang katanya demi kebaikan. Kalau saja takaran air mata seperti laut pasang surut, pipi yang dulunya dikecupi banyak cinta dari mereka pasti tidak akan pernah tersapa air mata kesedihan lagi. Hanya orang berotak egois, bicara tentang kebaikan padahal sebaliknya.
Gelapnya malam karena bulan bintang padam, membuatku terdiam mengabaikan buku pelajaran berbahasa Arab yang sudah dua jam terbuka. Lima tahun aku menempuh pendidikan di pondok pesantren, tidak sekalipun mendapat kunjungan dari orang tua. Sekalinya berkunjung, tiba tiba memberi kabar kalau mereka sudah bercerai. Seolah tidak cukup, beberapa hari kemudian, paruh baya yang pernah kupanggil ayah malah membawa keluarga baru. Dan sialnya, aku dipaksa harus menampilkan senyum tulus agar terlihat menyukai mereka.
“Sini Nak, ayah mau foto bareng dulu sebelum pulang.” Selalu seperti itu. Sudah minggu ke sepuluh ayah rutin menjengukku, ia sering sekali meminta foto bersama. Awalnya aku biasa, toh itu tidak mengganggu. Sekarang, aku muak.
“Pulang saja tanpa berfoto. Lagipula, aku ada kegiatan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan.”
“Ayah janji, ini yang terakhir.”
Aku terbawa emosi saat Ayah menampilkan wajah minta dikasihani. Aku tidak tega, tapi drama ini menyebalkan. “Cepat pulang saja! Aku tidak mau berfoto. Toh Ayah sudah sering memotretku.” Tanpa sadar aku berteriak mengeluarkan air mata. Ayah mengangguk singkat lalu mengecup keningku sebelum pergi. Dapat aku lihat, ayah tersenyum dari balik jendela.
Beberapa hari kemudian, aku dijenguk oleh orang lain.
“Neng Putri."
“Eh, mang Arya. Kenapa di sini?”
“Mau jemput Neng Putri. Disuruh pulang dulu sama Ayah sebentar. Nggak usah siap siap, kita langsung aja. Mamang juga udah izin ke bagian pengasuhannya, kok.” Aku termenung sebentar sebelum akhirnya menurut. Menaiki motor beatnya karena terlihat dari raut mang Arya seperti sedang diburu buru, aku tidak berpamitan dulu kepada teman temanku. Sepanjang perjalanan aku diam. Menanggapi seperlunya saja jika mang Arya bertanya. Entahlah, pikiranku seperti sedang melayang yang membuatku gelisah mendadak. Jarak rumah baru ayah dengan pesantren tidak begitu jauh. Cukup sepuluh menit dan kita akan sampai. Aku sudah beberapa kali berkunjung, tentu saja dengan senyuman palsu saat bertemu keluarga barunya. Rumah ayah sudah terlihat jelas. Seketika aku kebingungan melihat banyak sekali orang berlalu lalang dengan mata sembab. Otakku tidak bisa berpikir jernih saat melihat bendera kuning melengkung di pagar rumah dan orang orang langsung memburuku dengan isak tangis. Aku ikut menangis, tapi aku tidak paham menangis untuk apa.
Seseorang membimbingku masuk. Dan saat itu juga kedua tanganku keram sedangkan lututku melemas. Aku ambruk melihat jasad ayah yang sudah dikafani terbujur kaku.
"Ay-ah?" Panggilku lirih. Sadar bahwa ini nyata, aku melihat semua orang pun menangis. "Ayah, ayah kenapa? Ini bukan Ayah kan? Ayah bangun, hiks, Ayah."
Ini hari kematian ayah. Beliau yang pernah kubenci, dan kutolak permintaan terkahirnya untuk berfoto bersama. Selama ini, Ayah menyembunyikan penyakitnya. Aku tidak tau penyakit apa yang beliau derita, karena pihak keluarga tidak mau buka suara.
Saking takutnya tidak bisa melihatku lagi, ayah selalu memotreku diam diam dan mengumpulkannya di album kenangan.
Ayah sangat mencintaiku.
Begitupun aku.