Flash Fiction
Disukai
10
Dilihat
7,274
Betapa Dekatnya Sang Cahaya
Aksi

"Wisnu, kau yakin tidak akan memberi tahuku siapa yang memimpin aliansi berandalan di sekolah kita?" Pak Gun menatapku dengan tersenyum lembut.

Aku terdiam sembari menatap kedua tanganku yang dibalut perban. Angin sore yang menelisik di sela-sela jeruji jendela memainkan anak rambutku. Aku hanya mendesah pelan.

"Wisnu, kau tahu? Terkadang keraguan untuk mengungkapkan sesuatu hanya akan menyakiti seseorang. Ada begitu banyak penyesalan karena sebuah keraguan. Ragu untuk menyatakan, ragu untuk melakukan, dan ragu untuk menggapai. Semua itu hanya akan berakhir menjadi penyesalan, Nak." Pak Gun terdiam sejenak menatap genggamanku yang semakin erat.

"Wisnu, bapak tahu jika kau adalah anak yang baik."

Aku menelan ludah sembari membuang muka. Pak Gun baru saja mengatakan kalimat yang sangat aku benci.

"Wisnu,"

"DIAM! " Aku berteriak kencang. Membuat urat nadi di leherku menegang.

Ruangan hening. Menyisakan suara jendela yang berderit pelan tertiup angin senja.

***

Aku berjalan ke sebuah ruangan luas dengan pondasi yang setengah jadi. Cahaya senja menerobos masuk melalui retakan dinding di sisi ruangan. Segerombol remaja tengah berbaris rapi di hadapan sosok yang duduk santai di atas sebuah beton. Bergaya bak seorang mafia. Kami memanggilnya dengan sebutan Ketua.

"Wisnu, dari mana saja kau?" Tanya Ketua dengan nada dingin dan penuh intimidasi.

Aku terdiam. Seseorang lainnya menendang kakiku sembari menyuruhku untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sekali lagi aku hanya terdiam.

"Bocah ini! Kalau ketua berta-"

"Eko, hentikan!" Ketua memotong ucapannya.

Anak bernama Eko itu lantas mundur beberapa langkah. Kali ini Ketua berjalan ke arahku.

"Kau tahu alasanku membiarkanmu? Karena kau adalah peringkat dua dalam aliansi. Jadi sudah sewajarnya kau diperlakukan lebih baik dibandingkan bocah-bocah tidak berguna itu." Ketua menunjuk ke arah deretan anak SMA lainnya.

"Baiklah, karena semua anak sudah berkumpul-"

"Ketua," Aku menyela ucapannya.

Ketua tampak tidak senang. Menatap marah ke arahku.

Aku menggeleng pelan. "Bukan, maksudku Juna. Mulai sekarang aku tidak akan lagi mengikutimu."

Aku melempar tasku tepat ke arah muka Juna. Lantas berlari menerobos ke arah luar ruangan.

"TANGKAP BOCAH BR*NGS*K ITU!!" Juna berteriak lantang.

Dua orang menyusulku dengan cepat. Begitu aku nyaris keluar dari bangunan, salah satu dari mereka berhasil menarik bajuku. Aku terjerembab dan jatuh berguling ke arah belakang. Aku dikepung.

Aku mulai bergerak cepat meninju salah satu dari mereka. Tendangan berputar ku hempaskan ke arah dua murid lainnya. Tiga tumbang, tersisa empat anak lainnya. Kali ini mereka membawa balok kayu.

Dengan cepat, aku melesat maju dan menghajar mereka satu persatu. Sebuah kayu memukul tepat ke arah punggungku. Aku mengernyit kesakitan. Membalasnya dengan pukulan. Mereka berempat tumbang. Aku memanfaatkan momen ini untuk berlari ke arah pintu keluar.

Empat langkah lagi menuju cahaya di hadapanku. Namun sebuah batu bata mengenai kepalaku. Aku terjatuh tepat di depan pintu keluar. Darah mengucur. Membasahi seragam putihku.

Juna berjalan ke arahku. "Tidak ada yang akan menolongmu, Wisnu."

"Siapa bilang tidak ada yang menolongnya?"

Mataku melebar. Pak Gun, pria paruh baya itu berdiri di hadapanku.

"Kebaikan itu bukanlah untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Jadi tinggalkanlah masa kelammu dan peluklah cahaya kebaikanmu, Wisnu." Pak Gun tersenyum lembut.

Aku tersenyum lebar. Betapa dekatnya Sang Cahaya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
pesan nya dalam. saya suka. 🙏😉