Akun ini terverifikasi oleh Kwikku
Prestasi
Sebuah badge yang diberikan kepada pengguna yang berhasil mencapai target tertentu dari syarat badge tersebut.
Untuk jenis badge terbatas hanya bisa didapatkan pada waktu tertentu
Pelajari lebih lanjut
Kirim Pesan
Apakah kamu akan memblokir pengguna Fevyannin Kivlanella Fathiaz
Laporkan
Timeline
Karya terbaru segera tayang 22 April 2022 untuk pembacaan gratis di chapter pertama 😁
Setiawan Saputra membuat karya baru
Novel
Rumah Tak Berpintu dan Jendela
Setiawan Saputra
Hujan terus merintikan airnya, hambar udara menyelimuti hunian malam. Seperti biasa tiga orang di sana, berkumpul di ruang temaram.
Mereka adalah penyandang luka hati, yang sangat membutuhkan sang penawarnya. Aku datang ke hunian itu sesekali, membawa penawar guna membasuh luka kecewa.
Angka dua belas menunjuk waktu tengah malam, gemercik hujan terus menitikan airnya. Di sebuah ruang temaram, bersama sang penawar mereka merayakannya.
Alam seakan memberikan waktu, pada pekatnya dunia penuh ketenangan. Ruang berikan suasana syahdu, lampu tua ciptakan suasana yang disuguhkan.
Tidakkah di antara mereka merasakan sedih? Mungkin tidak tahan dengan kesedihan? Mereka kesal hatinya pernah mendidih, dibakar harapannya oleh seseorang yang mengecewakan
Di tempat itu mereka merayakan kesedihan, bersama lembaran-lembaran kertas yang tertuliskan, serta sesekali meneguk minuman. Justru suasana itu layak untuk dirayakan.
Malam semakin pekat dipeluk gelap, seloki-seloki berdenting dan rokok terhisap. Beberapa netra masih terjaga, bersama gundah hati dan penawarnya.
Andaikan harapannya terpenuhi, andai pula orang yang dincintainya dapat memahami. Sial lagi-lagi kembali di tempat temaram, melampiaskan rasa seperti membalas dendam.
Di sebuah meja sang penawar luka tersedia, detik demi detik berjalan lama, ceracau-ceracau mereka berbicara, sesekali memaki dan mengumbar serapahnya.
Mungkin tentang seseorang yang didambakan, seseorang yang meninggalkan, dan seseorang yang dirindukan. Lalu terbahak menertawai kebodohan.
Barangkali mereka bisa menunda terbitnya mentari, mereka masih ingin menari menyulam luka hati. Pahamilah yang dirasa manusia-manusia kecewa, membohongi hati dengan gelak tawa.
Mereka adalah penyandang luka hati, yang sangat membutuhkan sang penawarnya. Aku datang ke hunian itu sesekali, membawa penawar guna membasuh luka kecewa.
Angka dua belas menunjuk waktu tengah malam, gemercik hujan terus menitikan airnya. Di sebuah ruang temaram, bersama sang penawar mereka merayakannya.
Alam seakan memberikan waktu, pada pekatnya dunia penuh ketenangan. Ruang berikan suasana syahdu, lampu tua ciptakan suasana yang disuguhkan.
Tidakkah di antara mereka merasakan sedih? Mungkin tidak tahan dengan kesedihan? Mereka kesal hatinya pernah mendidih, dibakar harapannya oleh seseorang yang mengecewakan
Di tempat itu mereka merayakan kesedihan, bersama lembaran-lembaran kertas yang tertuliskan, serta sesekali meneguk minuman. Justru suasana itu layak untuk dirayakan.
Malam semakin pekat dipeluk gelap, seloki-seloki berdenting dan rokok terhisap. Beberapa netra masih terjaga, bersama gundah hati dan penawarnya.
Andaikan harapannya terpenuhi, andai pula orang yang dincintainya dapat memahami. Sial lagi-lagi kembali di tempat temaram, melampiaskan rasa seperti membalas dendam.
Di sebuah meja sang penawar luka tersedia, detik demi detik berjalan lama, ceracau-ceracau mereka berbicara, sesekali memaki dan mengumbar serapahnya.
Mungkin tentang seseorang yang didambakan, seseorang yang meninggalkan, dan seseorang yang dirindukan. Lalu terbahak menertawai kebodohan.
Barangkali mereka bisa menunda terbitnya mentari, mereka masih ingin menari menyulam luka hati. Pahamilah yang dirasa manusia-manusia kecewa, membohongi hati dengan gelak tawa.
Aku kembali di ruangan itu, tempat menimbun segala sumpah serapah. Setidaknya ada dua orang yang selalu ada di sana, menatapku seakan mengejekku atas kegagalanku soal cinta.
Aku sendiri tidak paham kenapa mereka berdua masih ada di ruangan itu? Ternyata mereka sudah tidak ada harapan, bahkan sudah lelah menaruh harap. Mereka memilih masuk di ruang gelap.
Aku sudah putuskan ini! Begitulah yang aku katakan pada mereka. Aku sendiri juga tidak mau menaruh harap. Lelah mengejarnya, lelah menuruti apa maunya, dan aku lelah menyinari seperti mentari. Sementara aku adalah rembulan yang hanya bersinar di malam hari.
Mungkin aku harus menerima diri, coba untuk memaafkan, mengistirahatkan hati yang terus terluka. Seperti lampu tua ini, yang hanya bisa menyinari dengan cahaya remang-remang, memberi luang sumpah serapah untuk orang-orang.
Seperti ruangan gelap, diam dan menunggu, ditemani lampu sayup-sayup meredup, dengan nuansa hampa, dan nada sunyi.
Aku sendiri tidak paham kenapa mereka berdua masih ada di ruangan itu? Ternyata mereka sudah tidak ada harapan, bahkan sudah lelah menaruh harap. Mereka memilih masuk di ruang gelap.
Aku sudah putuskan ini! Begitulah yang aku katakan pada mereka. Aku sendiri juga tidak mau menaruh harap. Lelah mengejarnya, lelah menuruti apa maunya, dan aku lelah menyinari seperti mentari. Sementara aku adalah rembulan yang hanya bersinar di malam hari.
Mungkin aku harus menerima diri, coba untuk memaafkan, mengistirahatkan hati yang terus terluka. Seperti lampu tua ini, yang hanya bisa menyinari dengan cahaya remang-remang, memberi luang sumpah serapah untuk orang-orang.
Seperti ruangan gelap, diam dan menunggu, ditemani lampu sayup-sayup meredup, dengan nuansa hampa, dan nada sunyi.
Aku berserah pada apapun, pada sang langit yang menghitam. Harapku terucap di setiap waktu sepertiga malam, mendambakan kehadirannya datang menghampiri mengisi ruang hati.
Lalu apalah aku yang hanya bisa mendambakannya? Berkaca pada diri sendiri, yang mencoba senyum menutup pilu. Tak peduli denganku yang terlihat dungu, bahkan sangat-sangat dungu.
Aku mendambakan kehadirannya, memintanya datang di antara benderang sang rembulan. Namun, ia hanya meminta terang.
Sementara aku masih belum seterang mentari, belum sanggup menyinari.
Lalu apalah aku yang hanya bisa mendambakannya? Berkaca pada diri sendiri, yang mencoba senyum menutup pilu. Tak peduli denganku yang terlihat dungu, bahkan sangat-sangat dungu.
Aku mendambakan kehadirannya, memintanya datang di antara benderang sang rembulan. Namun, ia hanya meminta terang.
Sementara aku masih belum seterang mentari, belum sanggup menyinari.
Aku amati keresahaan di dalam kerut parasnya, kemudian menghilang dalam sebuah dekapan yang hangat dan mesra. Aku menyadari kepergian, ia berlari menempati kosong hati di sana. Tanpa senyuman yang ditinggalkan, ia pergi meninggalkan luka.
Tak menyangka rayuan membujuk ragu, tega meninggalkanku di masa lalu. Apakah waktu bisa memberikan pilihan, untuk membersihkan segala keresahaan? Biarkan ruang hati ini kosong dan bersih. Aku tak mau lagi ada cerita tentang peristiwaku dengannya.
~Manusia Malam/Setia S Putra
Tak menyangka rayuan membujuk ragu, tega meninggalkanku di masa lalu. Apakah waktu bisa memberikan pilihan, untuk membersihkan segala keresahaan? Biarkan ruang hati ini kosong dan bersih. Aku tak mau lagi ada cerita tentang peristiwaku dengannya.
~Manusia Malam/Setia S Putra
Ini adalah catatan dalam hidupku, perjalananku mencari pesan dengan menghadapi perihal problematika hidup dan kompleksitas pilihan yang ditawarkan. Dalam catatanku ini, aku ingin bercerita banyak hal pada siapapun yang akan membacanya. Tentang perbedaan pemahaman, ideologis pada masing-masing manusia yang
berambisi mengejar impian, kegilaan pada dunia fana dan cinta.
Dalam catatanku, aku memulainya dengan sebuah pernyataan, "Hidup tak sebebas apa
yang aku pikirkan, karena aku merasa tidak bebas untuk memilih apa yang aku inginkan. Selalu saja ada orang yang tidak suka dan tidak terima atas pilihanku, dan pastinya dia akan meracuni otakku dengan kata-katanya yang membuatku ragu akan pilihanku sendiri. Aku tahu setiap orang berbeda pemikirannya, tapi apakah salah karena aku berbeda dengannya, beda dengan pemikirannya, beda pula pemahamannya? Hingga asumsi-asumsi itu membelenggu, membuatku dilema"
~ Basira Badran
berambisi mengejar impian, kegilaan pada dunia fana dan cinta.
Dalam catatanku, aku memulainya dengan sebuah pernyataan, "Hidup tak sebebas apa
yang aku pikirkan, karena aku merasa tidak bebas untuk memilih apa yang aku inginkan. Selalu saja ada orang yang tidak suka dan tidak terima atas pilihanku, dan pastinya dia akan meracuni otakku dengan kata-katanya yang membuatku ragu akan pilihanku sendiri. Aku tahu setiap orang berbeda pemikirannya, tapi apakah salah karena aku berbeda dengannya, beda dengan pemikirannya, beda pula pemahamannya? Hingga asumsi-asumsi itu membelenggu, membuatku dilema"
~ Basira Badran
Setiawan Saputra membuat karya baru
Novel
Mencari Pesan
Setiawan Saputra
Aku coba mengulik keresahanmu di balik pijarnya sang mentari. Kau undang aku ketika langit sedang memerah jingga.
Awal aku tak mengerti kenapa kau selalu mengundangku di waktu-waktu itu?
Aku baru tahu, kau sedang merayakan tenggelamnya sang mentari.
Ternyata kau membencinya.
Terdengar dari lisanmu bercerita, serta raut riangmu yang menyala seperti purnama sehabis senja.
Kau berkata, "Aku benci mentari. Aku ingin bersembunyi dari pijarnya, dan senja adalah waktu kemenanganku."
Awal aku tak mengerti kenapa kau selalu mengundangku di waktu-waktu itu?
Aku baru tahu, kau sedang merayakan tenggelamnya sang mentari.
Ternyata kau membencinya.
Terdengar dari lisanmu bercerita, serta raut riangmu yang menyala seperti purnama sehabis senja.
Kau berkata, "Aku benci mentari. Aku ingin bersembunyi dari pijarnya, dan senja adalah waktu kemenanganku."
Nona, kau datang selalu memberikan kejutan,
tak bisa ditebak sama sekali. Tapi entahlah aku tak bisa memahami, mengapa ciut nyaliku untuk keluar menemuimu. Padahal diri ini sangat merindukanmu.
Bukan karena aku tak suka, bukan pula aku membencimu. Jujur aku menyukai kehadiranmu, Nona. Hanya aku takut badan ini akan mengigil, karena sifat dinginmu.
Lihatlah aku, Nona. Yang hanya memandangmu dari balik jendela yang basah terkena rintikmu, menikmati pesonamu, menari-nari menghiasi hari-hari yang sepi.
Ahh, Aku menyukaimu, Nona.
Sungguh menyukaimu.
tak bisa ditebak sama sekali. Tapi entahlah aku tak bisa memahami, mengapa ciut nyaliku untuk keluar menemuimu. Padahal diri ini sangat merindukanmu.
Bukan karena aku tak suka, bukan pula aku membencimu. Jujur aku menyukai kehadiranmu, Nona. Hanya aku takut badan ini akan mengigil, karena sifat dinginmu.
Lihatlah aku, Nona. Yang hanya memandangmu dari balik jendela yang basah terkena rintikmu, menikmati pesonamu, menari-nari menghiasi hari-hari yang sepi.
Ahh, Aku menyukaimu, Nona.
Sungguh menyukaimu.
Tidak Akan Bersua dan Bersuara
Saat-saat aku lelah menjabarkan arti maya, lisanku tak mau lagi bercakap. Aku sudah berjanji tak akan bersua dan bersuara, memilih diam di ruang gelap.
Segala angan yang memudar perlahan, meghanyutkan janji di bualan. Biarkan hujan yang membawanya, tak mau lagi aku melihat genangan tentangnya.
Dan kau, tak perlu menjabarkan semua perkaraku. Biarkan hanya aku yang melihat, pucat pasi paras jiwaku yang tak berupa lagi. Aku tau aku sudah lupa diri.
Aku hanya butuh waktu jeda untuk meredakan semua persoalan ini. Tak perlu banyak cerita, hanya kecewa terlalu menaruh harap pada hujan yang hanya melintas, berkhianat pada tanah yang kini sudah tak seharum dulu.
Saat-saat aku lelah menjabarkan arti maya, lisanku tak mau lagi bercakap. Aku sudah berjanji tak akan bersua dan bersuara, memilih diam di ruang gelap.
Segala angan yang memudar perlahan, meghanyutkan janji di bualan. Biarkan hujan yang membawanya, tak mau lagi aku melihat genangan tentangnya.
Dan kau, tak perlu menjabarkan semua perkaraku. Biarkan hanya aku yang melihat, pucat pasi paras jiwaku yang tak berupa lagi. Aku tau aku sudah lupa diri.
Aku hanya butuh waktu jeda untuk meredakan semua persoalan ini. Tak perlu banyak cerita, hanya kecewa terlalu menaruh harap pada hujan yang hanya melintas, berkhianat pada tanah yang kini sudah tak seharum dulu.
Setiawan Saputra membuat karya baru
Novel
Suara Dari Tribun
Setiawan Saputra