Azia Fadila Madani

Bab XXVI
Jebakan

Cuplikan:

Lisa tiba di toilet dan tanpa ragu masuk ke dalam. Tanpa dia sadari ada seseorang menguntitnya ikut masuk ke dalam. Lisa yang berada di dalam toilet baru saja akan meletakkan tasnya di atas meja toilet. Tiba-tiba sepasang tangan kekar membekapnya dari belakang. Lisa tak sempat berteriak. Dia meronta berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu lemah.

Orang yang membekap Lisa hendak menjatuhkan gadis remaja itu, tapi tiba-tiba... buk! Ada benda keras yang menghantam kepalanya dari belakang. Orang itu pun jatuh pingsan di lantai. Lisa yang terlepas dari bekapan bisa bernapas lega. Dia memandangi orang yang tadi hampir merusak kehormatannya dan sekarang terkapar di lantai. Sementara di hadapannya Hamdan yang memegang sepotong kayu menatapnya cemas.

"Kamu nggak apa-apa, Lisa?" tanyanya.

Indah lalu bergegas keluar dari ruangan kelas. Wiwin membiarkannya. Wiwin masih berdiri mematung. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Sakit. Sungguh, belum pernah dirinya dimaki dan direndahkan seperti ini oleh seorang anak bau kencur. Muridnya sendiri. Jiwanya sebagai pendidik terasa hancur.

"Papa sengaja memaksa kamu masuk ke pesantren itu agar kamu bisa belajar agama dan tidak mengulangi kesalahan yang pernah Papa lakukan. Papa nggak mau kamu terjerumus semakin dalam," kata Pak Danu kemudian.
"Andi sekarang mengerti, kenapa Papa pengen Andi masuk pesantren. Andi juga udah sadar nggak ingin kembali pada kehidupan Andi yang dulu," kata Andi jujur.
"Tapi Papa sekarang juga sadar untuk tidak maksa kamu lagi. Kamu boleh kalau memang tidak ingin kembali ke pesantren."
"Enggak, Pa. Aku udah putusin kalau aku mau kembali masuk pesantren. Aku masih harus banyak belajar ilmu agama. Aku nunggu kondisi aku benar-benar pulih dulu!" tegas Andi.
Pak Danu tersenyum dan memeluk putranya bangga.
"Ngomong-omong Papa berharap kalau kamu kembali ke pesantren, kamu bisa bertemu Yai Sepuh," ucap Pak Danu.
"Papa tahu Yai Sepuh?"
"Ya. Karena Papa pernah bertemu dengannya."

Tiba-tiba Andi sudah berada di sebuah padang luas tak bertepi dan semuanya berwarna serba putih. Pakaian yang dikenakan pun putih seperti pakaian ihram orang naik haji. Andi kebingungan dan bertanya dalam hati, di mana aku ini? Apakah aku benar-benar sudah mati? Andi berjalan tak tentu arah. Dia tidak melihat ada satu makhluk pun di padang luas ini. Dia hanya sendirian di tempat asing ini.

Hidup adalah pilihan. Manusia bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri. Kalimat itu terngiang di telinga Andi saat meluncur di jalan.

Sejak diberitahu Yai Sepuh jika hidupnya di dunia tidak akan lama, Andi jadi gelisah dan tidak tenang. Dia pun jadi paranoid dan was-was jika sewaktu-waktu malaikat Izrail datang menjemputnya.

Selama ini hidupnya sebenarnya tak jauh dari kematian. Hobinya balapan motor dan tawuran hakekatnya berhadapan dengan kematian. Tapi Andi tak pernah takut, bahkan dia sering sesumbar menantang maut.
Tapi sekarang, entah kenapa dia jadi takut mati.

Dari pandangan pertama Andi sudah jatuh hati pada Syifa. Dia ingin Syifa jadi pacarnya, jadi miliknya. Jadi, apa pun akan dilakukannya demi bisa mendapatkan cintanya.

Namanya Harun. Dia adalah santri senior. Usianya duapuluh dua tahun. Perawakannya sedang, wajah cukup tampan, dan sangat disegani di kalangan santri. Dia dipercaya Kyai Rofik menjadi pengawas para santri. Mungkin karena posisinya itu membuat dia dipandang berwibawa. Tapi di mata Andi santri senior itu terlihat sok dan angkuh. Ketika Harun muncul dan menegur dengan nada keras, Andi tidak gentar dan langsung berdiri mendatangi santri senior itu dengan sikap menantang.
"Lo punya kuasa apa ngatur gue!" ujar Andi tenang.
Beno jadi gelisah dan tegang oleh sikap Andi. Dia lalu menarik tangan Andi agar menyingkir. "Udah, Andi. Kita keluar aja," katanya mengajak Andi pergi.
Tapi Andi bergeming. Dia masih berdiri di hadapan Harun dan menatap tajam. Harun jadi geram. Gerahamnya mengeras.

Andi mulai mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan oleh para santri di Ponpes. Dia mengalami banyak kesulitan dan hambatan dalam beradaptasi. Jadwal kegiatan ponpes yang ketat dan padat membuatnya sangat berat menjalani. Bayangkan, dari sebelum subuh hingga mendekati tengah malam santri harus mengikuti semua kegiatan. Baik itu kegiatan sholat wajib, mengaji, shalawat, nderes, sampai kegiatan harian lainnya. Andi benar-benar tak betah. Dia yang biasa hidup bebas dan tak terikat merasa seperti dikekang dalam penjara. Mana di ponpes ada larangan memakai ponsel atau gadget. Sempurna sudah penderitaan Andi.

Andi santri baru ingin kabur dari pondok dengan melompati pagar tengah malam, tapi kyai sepuh memergokinya dan minta dia kembali. Esok harinya Andi kaget mengetahui jika Yai sepuh sudah lama wafat.

Alhamdulillah saya sudah selesaikan skrip terbaru ini. Silakan dibaca mumpung masih gratis. Belum saya monetisasi.

Lita meluapkan kekesalannya. Air matanya bercucuran. Selanjutnya terjadi pertengkaran hebat antara Lita dan ibunya.
ASTUTI
Kamu ini bener-bener bodoh! Kamu gak mau menangkap peluang. Sementara remaja lain di luar sana pada bermimpi bisa jadi artis, tapi kamu udah diberi kesempatan emas malah menolak. Ibu sudah bicara sama mas Ben tadi dan dia mau ngasih jalan buat kamu main di filmnya.
LITA REMAJA
Sudah aku bilang, aku gak mau main film. Ibu jangan paksa aku!
ASTUTI
Bisa gak sih, kamu nurut sama ibu sekali ini saja? Ini ibu lakukan juga buat kepentingan kamu!
LITA REMAJA
Kepentingan apa? Itu cuma kepentingan ibu. Aku tahu, ibu ingin menjadikan aku mesin uang ibu. Biar ibu bisa bersenang-senang. Iya, kan?
ASTUTI
(geram)
Jaga mulut kamu!
Santi muncul melerai mereka. Dia memegangi Astuti dan menenangkannya.

Lita membenci ibunya yang sering bersikap buruk pada dirinya di masa lalu dan tidak ingin menemuinya lagi seumur hidupnya, tapi setelah sepuluh tahun berlalu tiba-tiba datang undangan pernikahan ibunya yang memintanya datang.

Seorang wanita muda sukses dan kaya mendapat undangan pernikahan ibunya yang sepuluh tahun tak ditemuinya.

Mohon dukungannya untuk memberi vote pada karya NFT saya berjudul: On The Street agar mencapai peringkat atas dalam lomba NFT Karyakarsa. Silakan klik link berikut;
https://tinyurl.com/5e7jja5k

Tahun berganti tahun, Mei tak lelah melakukan pencarian. Setiap kali ada kesempatan pergi ke luar kota, terutama ke daerah-daerah pedesaan, Mei menanyakan kepada orang-orang apakah ada yang mengetahui keberadaan Kosim. Namun tak ada satu pun yang mengetahuinya. Pernah ada yang membawa orang bernama Kosim ke hadapannya, tapi bukan Kosim seperti yang dikenalnya. Nama Kosim tampaknya pasaran. Mei tak patah arang. Di era digital sekarang pencarian orang lebih mudah dilakukan. Mei memajang foto yang masih rapi disimpannya itu ke setiap media sosial. Dia juga melakukannya di website dan aplikasi pencarian orang. Namun sampai sekarang hasilnya nihil. Kosim seakan hilang tertelan bumi.